Pentas Kajian Alfiyah Ibnu Malik: Bab Mu’rob wa Mabni

2
2597

KHASKEMPEK.COM – Mengaji Kitab Alfiyah Ibnu Malik merupakan kebanggaan bagi setiap santri di Pondok Pesantren Khas Kempek Cirebon. Berikut ini adalah materi pentas kajian bab mu’rob wa mabni yang dipresentasikan oleh kelompok 2 dalam acara Haflah Tasyakkur Khotmil Alfiyah Ibnu Malik, 06 September 2020.

ISMAT: Bicara tentang semesta, maka kita diajak mengenang skenario kehidupan di dalamnya. Sekelumit di antara banyaknya skenario tersebut yaitu adanya kisah para tokoh revolusioner. Contoh kecilnya, kami santri Khas Kempek, memiliki figur revolusioner hebat, ya beliau adalah Almagfurlah Abuya KH. Ja’far Shodiq Aqil Siroj.

ZAMY: Kemajuan pondok pesantren ini dalam segala aspek, baik di bidang pendidikan formal maupun nonformal, kemajuan pembangunan, dan aspek yang lainnya, itu tidak terlepas dari peranan ataupun track record (rekam jejak) beliau sebagai pribadi yang konsisten, disiplin tinggi, tegas dan energik dalam memanifestasikan (mewujudkan) planning beliau untuk memajukan Ponpes Khas Kempek.

AHMAD: Trobosan-trobosan yang beliau lakukan untuk memajukan sistem pesantren bisa kita tarik analoginya dengan istilah mu’rob, dan karakter beliau yang konsisten (tetap, tidak berubah-rubah), bisa kita analogikan dengan istilah mabni.

ZAMY: Dalam kitab Khulasotul Alfiyah ibn Malik manuskripnya Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Jamaluddin ibni Abdillah ibni Malik Al-Andalusiy, beliau berkata:


الإسم منه معرب ومبنى * لشبه من الحروف مدنى
كالشبه الوضعي فى اسمي جئتنا * والمعنوي فى متى وفى هنا
وكنيابة عن الفعل بلا * تأثر وكافتقار أصلا

AHMAD: Sesuai dengan bait nadzom yang telah kami sebutkan, bahwa:
Sebagian isim itu ada yang berstatus mu’rob, ini biasa kita sebut sebagai isim mutamakkin yaitu lafadz yang karakteristik keisimannya itu kuat.

ISMAT: Dalam hal ini, kami akan ambil gambaran dari Firman Allah SWT dalam surat Ar-Ra’d ayat 11:


أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
…إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ …الآية

ZAMY: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

ISMAT: Pokok pengkajian yakni lafdzul jalalah. Lafadz tersebut di kategorikan isim yang mu’rob, dikarenakan lafadz tersebut tidak menyerupai huruf, dan ia mampu menerima tuntutannya ‘amil, dalam contoh ini, ‘amil berupa إن menuntut me-nashab-kan lafdzul jalalah sebagai isimnya.

AHMAD: Referensi (kitab As-showiy jilid 2 halaman 206 cetakan DKI Darul kutub al-‘ilmiyyah). Menurut penafsiran As-syekh Ahmad bin Muhammad As-showiy dalam kitab Hasyiah As-showiy, maksud dari ayat tersebut adalah:


إن الله لا يقطع نعمة عن قوم، إلا إذا بدلوا أحوالهم الجميلة بأحوالهم القبيحة

ZAMY: “Bahwasannya Allah tidak akan memutus kenikmatan dari suatu kaum, terkecuali disaat mereka merubah keta’atan dengan kemaksiatan kepada Allah SWT”.

ISMAT : Dan ada pula isim yang berstatus mabni, hal ini bisa kita sebut dengan istilah isim ghoiru mutamakkin, atau lafalz yang karakteristik keisimannya itu lemah dikarenakan penyerupaannya dengan kalimah huruf dan penyerupaannya itu dekat serta kuat. Seperti:

AHMAD: Keserupaannya isim pada huruf dalam aspek sama-sama membutuhkan terhadap jumlah setelahnya, agar maknanya bisa menjadi paripurna, keserupaan ini di namakan syibeh iftiqoriy. Seperti lafadz إذا
REFERENSI:
Kitab As-shobban jilid ke 1 halaman 54 cetakan Haromain.


(ويسمى الشبه الإفتقارى وهو أن يفتقر الإسم إلى الجملة إفتقارا مؤصلا أي لازما كالحرف، كما في إذ وإذا وحيث والموصولات الإسمية)

ZAMY: Contohnya dalam kitab yang berjudul matsnawi karya seorang penyair sufi yaitu syekh Jalaluddin Ar-Rumiy, disitu terdapat salah satu gubahan beliau yang tengah menggambarkan sisi positif perempuan:


إذا كان الله قد خلق حواء ليسكن إليها أدم
فأنى له أن يهجرها و يصبر على فراقها

“Jika Allah telah ciptakan hawa untuk bersemayamnya Adam, maka Adam berat tuk meninggalkan Hawa dan berat untuk sabar berpisah dengannya”.

Inti pengkajian ialah lafadz إذا , ia tergolong isim yang mabni sebab ia serupa dengan kalimah huruf dalam aspek butuh kepada jumlah setelahnya yakni lafadz كان الله قد خلق حواء tanpa jumlah tersebut takkanlah sempurna maknanya.

AHMAD: Lalu, ada juga keserupaannya isim dari segi, ia menggantikan fi’il dalam pengamalan, maka harus dimabnikan, Dalam hal ini dikatakan sebagai syibeh isti’maliy. Ini biasanya terdapat pada isim fi’il. Contoh kecil, dari isim fi’il itu termaktub di sebuah syi’ir dalam kitab Asymuni, Imam ibnu Ghozi berkata:


وما يكن منها لذى غير محل * فاسم كهيهات ووي وحيهل

Diantaranya isim fi’il itu seperti lafadz HAYHATA, WAY, dan HAYYAHAL “.

ISMAT: Lantas, ada keserupaan dalam aspek maknanya, dalam artian isim tersebut mengandung makna-maknanya huruf, hal ini di sebut syibeh ma’nawiy. Contohnya:


متى ترحم أحب

Artinya: “Jika kamu menyayangi, maka aku kan mencintai”. Lafadz متى di situ mengandung maknanya إن شرطية, sehingga lafadz tersebut wajib dimabnikan.

ZAMY: Kemudian, versi yang terakhir yaitu keserupaan kalimah isim dengan huruf dalam aspek formatnya (bentuknya), maksudnya begini: secara de facto (kenyataannya) standar bilangan huruf dari kalimah isim itu 3, tapi, kok ada isim yang hurufnya kurang dari 3. Kasus ini, para pakar ilmu nahwu mengistilahkannya sebagai syibeh wadh’i. Contohnya terdapat pada hadits Nabi SAW dalam kitab sunan Abi Dawud jilid ke-4, halaman 44, Nabi bersabda:


4031 – حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
[السجستاني، أبو داود، سنن أبي داود، ٤٤/٤]

“…Barangsiapa yang menyerupai suatu kelompok, maka dia tergolong bagian dari mereka”.

ISMAT: Pokok pembahasannya yakni Lafadz هو, lafadz tersebut formatnya hanya terdiri dari 2 huruf, yang seharusnya standar kalimah isim itu terdiri dari 3 huruf atau lebih, sehingga ia dihukumi seperti halnya huruf dan wajib dimabnikan serta ia secara terang-terangan menyimpang dari kelompok isim pada keumumannya.

AHMAD: Jadi, pada dasarnya isim itu berasal dari kata سمو yang memiliki arti luhur atau terhormat, namun jika ada isim yang memilih mengikuti kalimah huruf, maka jelas dia berstatus eks-isim dan ia telah membuang kehormatannya.

ISMAT: Wakadzaalik, bisa kita analogikan dengan adanya warga Indonesia yang rela membuang kehormatan nasionalismenya demi mengikuti faham-faham kelompok yang radikalis dan juga ekstrimis, maka WNI tersebut tergolong bagian dari mereka.

ZAMY: Hal ini jelas sangat membahayakan. Pasalnya begini, mindset mereka telah diseting sedemikian rupa atau istilahnya (brainwashing), sehingga sudah bisa dipastikan, gerakan-gerakan yang mereka lakukan itu bisa mengancam kestabilan kedaulatan bangsa.

Diucapkan bersama-sama: Radikalisme haruslah di cegah! Ada kaidah fiqih mengatakan:


درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Mengantisipasi keburukan itu lebih di prioritaskan daripada mewujudkan kemaslahatan”.

Walhasil, Pondok pesantren berbasis Nahdlatul Ulama adalah lembaga yang paling efektif, dalam upaya mengantisipasi radikalisme bagi generasi muda Indonesia. Terima kasih.

*Materi Mu’rob wa Mabni ini disampaikan oleh Kelompok 2, yaitu: M. Nur Rizky Zamzamy, Ismatuzzaeni dan Ahmad.

2 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here