Pelajaran Hidup dari Bapak

0
374

KHASKEMPEK.COM – Entah apa jadinya jika Allah tidak melekatkan pada Bapak rasa kasih sayang pada saya. Beliau (dan tentu juga Ibu) yang telah menghantar hingga saya berada di ujung pendidikan S2. Hampir selesai. Keingat sejak awal mesantren 12 tahun yang lalu, hampir 6 tahun Bapak bolak-balik ke pondok setiap bulan untuk ngasih uang. Tidak jarang uang itu hasil pinjam ke orang. Hebatnya, beliau tidak pernah malu. Prinsipnya uang itu dikembalikan secepatnya dan anaknya bisa tetap berpendidikan. Dari pesantren ke jalan raya, Bapak tidak jarang berjalan kaki. Bukan soal apa-apa, tapi untuk menghemat uang perjalanan. Itu saya lihat dengan kepala mata sendiri. Allah.

Selesai pesantren, saya menghatamkan Alfiyah Ibn Malik di Pesantren Kempek Cirebon. Biayanya tidak murah, berjuta-juta. Uang dari mana beliau membayar biaya khotmil Alfiyah saya? Sebagian minjam ke Nenek. Dikembalikan setelah Bapak sudah megang uang lebih. Allah Maha Adil. Dalam acara tersebut, saya memberi hadiah untuk Bapak, saya dinobatkan sebagai penghatam Alfiyah 1000 bait pertama di antara lulusan-lulusan lain. Merasa belum pantas karena ilmu masih minim memang. Tapi sedikit terobati ketika nama Bapak dipanggil di belakang nama saya sambil dinyatakan sebagai orang tua dari anak yang menempati urutan ke-1 penghafal 1000 bait Alfiyah. Bapak Ibu nangis di depan panggung acara. Ah. Semoga itu sedikit membalas lelah mereka.

Sebelum itu sebenarnya saya pernah disuruh berhenti mesantren sama orang tua karena soal ekonomi. Di samping karena adik harus juga masuk pesantren. Gantian, katanya. Tidak ada yang saya rasakan saat itu kecuali terus menangis setiap hendak berangkat ngaji. Karena kepikiran akan berhenti mondok. Bagaimana tidak, waktu itu sedang hampir selesai menghatamkan Quran, tapi diminta berhenti mesantren sebab problem ekonomi. Pikiran pun kemana-mana. Belajar tidak fokus. Tapi satu minggu kemudian Allah memberi keajaiban. Bapak dan Ibu berubah fikiran dan bertekad untuk terus memesantrenkan saya. Sejak saat itu Allah kasih rejeki setiap bulan pada saya, sehingga saya memiliki pemasukan pribadi, pun orang tua tidak banyak memberikan uang seperti biasanya. Saya anggap itu adalah keajaiban bagi pencari ilmu. Sungguh keajaiban luar biasa.

Selesai Alfiyah di pondok saya memutuskan tidak balik ke rumah, sebagaimana umumnya masyarakat dahulu ketika selesai mesantren. Bekal keinginan sendiri saya memutuskan kuliah dengan bekal beasiswa. Alhamdulillah, Allah kasih beasiswa full untuk saya melanjutkan S1. Selama S1 Bapak dan Ibu pun tidak harus banyak mengeluarkan uang untuk biaya kuliah. Meski begitu, tetap saja Bapak belum pernah dibalas apapun oleh anaknya yang nakal ini. Maafkan, Pak, Bu.

Belum lama 24 Maret 2020 lalu, S1 saya diwisuda. Meski sebetulnya sudah lulus sidang Skripsi sejak Juni 2018 lalu karena saya paling cepat menyelesaikan Skripsi. Karena beberapa hal, wisuda baru diadakan. Bukan hal yang disangka, alhamdulillah Allah kasih nikmat pada saya. Allah menentukan saya sebagai Mahasiswa Teladan sekaligus satu-satunya Mahasiswa Lulusan Summa Cumlaude sejak berdirinya kampus S1 saya itu. Saya pun tidak percaya. Tapi Allah kasih itu apa adanya. Masya Allah.

Saat itu, Bapak dan Ibu tidak percaya kalau gelar Mahasiswa Teladan dan Lulusan Summa Cumlaude diberikan kepada saya. Mereka pun tak berhenti meneteskan air mata di dalam ruangan wisuda dan ketika diminta maju ke panggung oleh Guru Besar dan Rektor Kampus. Bukan hal yang berharga mungkin bagi sebagian orang, tapi kesempatan itu saya jadikan untuk bersimpuh dan memeluk Ibu Bapak di depan orang banyak. Sambil berpidato atas nama Mahasiswa teladan di depan Civitas Kampus dan tamu undangan, saya gunakan kesampatan untuk mengenalkan kepada semua hadirin bahwa Bapak dan Ibu adalah orang yang tidak pernah lelah memberikan apapun untuk pendidikan anaknya.

Bapak tidak pernah memaksa untuk hidup ke sana ke sini. Saya pun akhirnya melanjutkan pendidikan S2 di kampus yang juga terletak di Jakarta. Berkah perjuangan dan doa Bapak setiap malam, bersimpuh di depan Allah, pendidikan S2 tidak sepeserpun dibiayai olehnya. Saya mandiri membiayai kuliah dan juga sedikit bisa membantu biaya pendidikan adik di pesantren. Keingat pesan Kiai Pondok dahulu, bahwa uang yang disodaqohkan untuk orang tua dan keluarga serta kemaslahatan umum maka akan semakin berkah. Itu saya rasakan betul. Betapa meski saat ini belum berani mengambil posisi kerja full, namun alhamdulillah siklus materi tidak pernah surut. Keberkahan doa Bapak dan status pencari ilmu menjadi optimisme untuk saya terus melangkah. Tidak takut kekurangan apapun.

Memang hingga hari ini saya belum bisa secuilpun membalas apa-apa untuk Bapak dan juga Ibu. Meski doanya sudah sangat berefek dalam kehidupan pendidikan, saya belum bisa memberi apapun untuk keduanya. Tidak ada yang kuharap di setiap doa kecuali untuk kesehatan dan panjang umur keduanya. Insya Allah saya memilih untuk melanjutkan pendidikan S3 setelah S2 selesai dan menjalankan beberapa rencana yang sudah dilist dalam memori masa depan. Jangan pernah berhenti memohon doa dan keberkahan kepada Bapak dan Ibu. Doanya mustajab. Sungguh.

Ketika memberi kabar Bapak bahwa saya terlibat sekali dua kali di penelitian Balitbang Kemenag RI dan terlibat membuat artikel kontra-narasi radikalisme terorisme di Kepolisian serta melihat foto-foto saya dengan tokoh-tokoh nasional beliau merasakan sangat haru, hampir tidak percaya, karena saya dulu adalah anak yang tidak bisa apa-apa, apalagi pemalu. Di samping juga malu karena semua itu belum menjadi posisi kerjaan full. Hanya masih membantu di beberapa instansi terkait. Tapi setidaknya, itu menjadi motivasi saya untuk menghilangkan rasa malas dan segera menyelesaikan pendidikan serta memberikan apa yang Bapak harapkan. Amiin.

Oh ya, pelajaran kehidupan yang banyak didapatkan dari Bapak adalah soal kesederhanaan. Bapak mengajarkan untuk berpakaian yang sederhana meski sedang ditunjuk menjadi pembicara dalam forum apapun. Bapak juga mengajarkan kesabaran meski memiliki kekuatan untuk membuat suatu hal terjadi. Bapak mengajarkan mengalah meski memiliki kekuatan dan memiliki masa. Bapak selalu mengajarkan bersabar meski ada hal yang membuat rugi. Apa yang selalu dibilang adalah, biarlah semua berjalan apa adanya, tak perlu dibesar-besarkan, suatu hari akan ada masanya sesuatu yang benar akan muncul di depan mata semua orang.

Entah apa jadinya jika saya tidak diberi pelajaran hidup sama Bapak. Pelajaran yang tidak saya temukan di mana pun. Pelajaran yang lahir dari lubuk hati dan keikhlasan yang murni. Bapak, semoga selalu mengajarkan arti kehidupan yang sesungguhnya. Engkau adalah Maha Guru sejati kehidupan saya, Pak. Engkau adalah Guru Besar kehidupan. Amiin. (KHASMedia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here