Para Pencari Berkah Ramadan

0
401

KHASKEMPEK.COM – Kemeriahan syiar Islam di bulan Ramadan cenderung sangat jauh berbeda dengan bulan – bulan selainnya.

Perilaku instan dengan dadakan sholeh sepertinya menghiasi setiap moment apa saja di Indonesia pada setiap bulan puasa di setiap tahun.

Baik kesalehan pribadi atau kesalehan kolektif yang ditunjukkan oleh orang muslim Indonesia, dari komunitas terkecil keluarga, RT/ RW, musholla, masjid sampai pada kelompok – kelompok organisasi Islam, partai, bahkan telivisi, radio media sosial ikut menyambut Ramadan ini dengan penuh ragam kegembiraan yang terkadang diluar makna Ramadan sebagai bulan ibadah itu sendiri.

Kita sering melihat di telivisi, internet, media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp banyak orang – orang yang mendadak produktif menulis, berbicara bahkan hanya sekedar berkomentar dan berstatus “Marhaban Ya Ramadan” Selamat Berpuasa. Ya sah – sah saja mereka mengungkapkan segala pengalaman pribadi untuk dicurahkan melalui media yang ada.

Yang menggelikan terkadang orang berbicara mengenai Ramadan diluar latarbelakang pendidikan dan kapasitas keilmuan bahkan profesinya. Misal seorang insinyur berbicara Ramadan dari sudut pandang tafsir AlQur’an, atau seorang politikus berbicara mengenai puasa perspektif ushul fiqih. Ya memang benar bahwa mereka adalah seorang muslim dan tentunya telah menjalankan ritual puasa dari tahun ke tahun.

Jadi ustadz dadakan di bulan suci ini telah menjadi semacam trend pencarian pengetahuan agama. Bak seorang selebriti yang retorikanya membuat perasaan terkesima dibuatnya, pemirsa televisi menjadi tertegun dan cenderung menjadi pengikut daripada datang ke majlis – majlis ilmu, atau ke pesantren dengan otoritas dan orisinalitas kiai yang disegani intelektualnya.

Kita juga merasakan pada siaran televisi, di bulan puasa ini juga telah dikemas sedemikian rupa agar acara – acara yang ditampilkan nampak religi bahkan jauh – jauh hari telah dipersiapkan tayang khusus edisi Ramadan.

Di mal – mal, toko ritel dan minimarket lantunan lagu religi mengiringi setiap langkah para pengunjung. Bahkan di jalan jalan terpampang poster dan baliho bertuliskan ” Marhaban ya Ramadan “.

Yang tak kalah menarik Penulis melihat, di kampung, di gang – gang kota besar fenoma “obrog” (istilah di Cirebon dan sekitarnya) telah menjadi pemandangan lumrah. Menggunakan aneka ragam alat musik, dari hanya menggunakan kaleng dan ember bekas sampai ala grup musik lengkap dengan soundsystemnya, mereka berkelompok berjalan mulai pukul 02.00 dini hari hanya untuk membangunkan orang untuk sahur. Belum lagi orang yang membangunkan melalui pengeras suara di masjid atau musholla dengan gaya dan modelnya yang unik, malam begitu ramai gegap gempita suara sahut – sahutan.

Inilah Indonesia dengan keunikannya menyambut bulan Ramadan yang penuh dengan berkah dan kemuliaan.

Pada tahun 2005, antropolog asal Swedia, Dr. André Möller, menerbitkan disertasinya di Universitas Lund tentang ritual puasa di Jawa menjadi sebuah buku berjudul, “Ramadan in Java: the Joy and Jihad of Ritual Fasting”. Edisi terjemahannya terbit di tahun yang sama dengan judul “Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar” (Jakarta : Nalar, 2005).

Prof. Wahyudin Halim menulis dalam artikelnya bahwa Möller tak banyak bicara tentang normativitas Ramadan menurut teks-teks agama. Bukankah tentang itu ribuan jilid buku telah mengulasnya. Lewat riset etnografis selama beberapa tahun di Jogya dan Blora, Möller mengeksplorasi bagaimana orang-orang Jawa Muslim memahami, menjalani, dan menikmati puasa di bulan Ramadan.

Di antara kesimpulan Möller, ibadah puasa bagi kaum Muslim Jawa adalah kesenangan (joy) sekaligus perjuangan (jihad). Sebagai ‘orang luar’ Möller mampu menerka hal-hal menarik, unik, dan mengagumkan dalam ritual puasa Ramadan orang-orang Jawa Muslim. Hal-hal yang mungkin lumrah dijumpai dipraktikkan juga orang-orang muslim di luar Jawa.

Dia juga mencermati bagaimana penafsiran tentang Ramadan dipresentasikan dalam tulisan kontemporer di Indonesia. Setiap Ramadan, media-media Indonesia mengalami proses ‘Islamisasi’ sementara. Surat-surat kabar menyediakan banyak rubrik khusus untuk artikel tentang Ramadan.

Dalam penulusuran penulis, kemeriahan dan keunikan Indonesia dalam menyambut bulan Ramadan juga bisa dilihat dari makna “Marhaban” itu sendiri dalam kalimat “Marhaban Ya Ramadan”, disini tidak menggunakan kata “Ahlan wa Sahlan “, apalagi menggunakan “Welcome”, padahal keduanya mengandung arti sama “Selamat Datang”.

Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti “luas” atau “lapang”, sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan, serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Sehingga Marhaban ya Ramadan berarti ” Selamat Datang Ramadan ” mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan ; tidak menggrutu apalagi mengganggu ketenangan dan suasana nyaman kita, demikian menurut Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an.

Sehingga hemat penulis, bahwa kita boleh menyambut dan mengisi aktifitas ibadah di bulan suci ini dengan sesuka hati tetapi perlu mempertimbangkan situasi kenyamanan dan tidak mengganggu ketenangan, bukan asal mencari berkah dan kemuliaan.

Bulan Ramadan tahun ini agak berbeda, dimasa pandemic Covid -19, fenomena – fenomena diatas cenderung melemah, agak lesu dan intensitasnya sedikit berkurang. Namun timbul hal baru dalam syiar keagamaan dalam mencari berkah bulan suci ini.

Paling tidak dikalangan Nahdliyyin dan Pesantren, disaat lembaga ini memulangkan para santrinya ke kampung halamannya masing – masing, maka dalam rangka tetap menjalin tali silaturahmi dan intelektual, kiai-kiai kharismatik dan gus-gus kredibel memanfaatkan media sosial. Biasanya pengajian “pasaran” edisi khusus Ramadan dilakukan secara offline. Kini Beliau – beliau menyenggarakan pengajian online; membacakan kitab-kitab kuning dan mengkajinya secara livestreaming, ada yang melalui YouTube, Facebook, Instagram bahkan aplikasi Zoom.

Kiai dan Gus seriaus membacakan kitab – kitab klasik yang berisi berbagai fan ilmu, santri yang “di rumah aja”, diharapkan bisa tetap “tabarrukan” ala tekhnologi modern online didepan gawai atau layar monitor komputer.

Diluar fenomena terakhir pesantren ngaji online berkah pandemic Covid -19, penulis mencermati, bahwa kegembiraan menyambut bulan Ramadan yang berlebihan sehingga timbul aktifitas di bulan yang mulia ini yang melewati batas kewajaran, dikhawatirkan kita akan terperangkap pada ritual-simbolik atau aksi komunal yang berlabel agama, sehingga akan menjauhkan diri dari substansi dan produktifitas keberagamaan itu sendiri.

Memang benar, Nabi SAW telah menginformasikan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya :

ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ

“Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.”

Bahkan dalam kitab Durrotun An-Nasihin halaman 7 Al-Majlisu al- Awwal fi Fadhilati Syahri Romadhon, ada hadits (sebagian ulama berpendapat hadits ini dhoif bahkan maudhu’) menyebutkan artinya :
“Barangsiapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka”.

Namun yang perlu diingat adalah, esensi ibadah shiyam itu sendiri, yakni pengendalian diri, mengawal hawa nafsu dan jiwa agar tidak terjerumus pada hal – hal yang membuat rendah martabat manusia.

Sehingga pencarian berkah, tabarrukan atau ngalap berkah bulan Ramadan ini selaras dengan tujuan akhir puasa sebagaimana QS.Al-Baqoroh :183, “la’allakum tattaquun” agar kita masuk dalam kategori sebagai orang yang bertaqwa, dimana taqwa itu sendiri diantaranya adalah mampu memanifestasikan sifat – sifat Tuhan dalam diri seorang muslim dalam kehidupan sehari – hari, Rusulullah SAW bersabda : “Berakhlaklah (bersifat lah) kamu sekalian dengan sifat – sifat Tuhan”.

Mungkin saya juga bagian dari para pencari berkah dan maghfiroh, bagaimana dengan anda?

Wallahu a’lam bisshowab.
Cirebon, 09 Mei 2020 M./16 Ramadan 1441 H.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here