Meluruskan Kerancuan Paradigma Dzikir Umat Milenial

0
592

KHASKEMPEK.COM – Pagi itu, sebagaimana pagi-pagi biasa. Pengajian Tafsir Jalalain dan Ihya Ulumiddin yang dibacakan oleh Bapa -panggilan akrab KH. M. Mustofa Aqil Siroj kepada para santrinya- dimulai. Seperti biasa, penulis selalu mengambil posisi ngaji di ruang dalam. Di samping bisa lebih jelas menyimak pengajian juga kebiasaan penulis waktu itu adalah mendokumentasikan setiap isi pengajian pagi itu dalam sebuah rekaman yang tentunya akan lebih jernih dengan hasil rekaman yang lebih dekat dengan sumber suara.

Kalimat demi kalimat penulis lahap. Dalam kondisi pikiran masih jernih dan perut belum terisi. Seolah pagi-pagi seperti ini adalah sarapan pagi ruhani yang selalu terasa baru dengan beraneka ragam menunya. Sampai sekarang penulis masih merindukan itu. Berharap rekaman demi rekaman itu bisa diputar kapan saja jika rindu suasana pagi-pagi seperti itu.

Satu hal diantara yang menarik dari pengajian pagi itu adalah penyampaian materi yang kontekstual, entah itu terkait problem umat yang perlu dikritik atau doktrin-doktrin yang santri-sentris diperlukan pada saat itu.

Pengajian pagi itu kebetulan sampai pada surat Ar-Ra’d ayat 28 yang berbunyi:


أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Tidakkah dengan berdzikir itu akan menentramkan hati”

Kebetulan waktu itu -mungkin juga sampai sekarang- sedang ramai kelompok relijius yang aktif dalam melakukan dzikir dan ziarah kubur. Tapi mereka pasif dan kurang responsif terhadap acara-acara pengajian dan kegiatan ilmiah lainnya. Lebih menyedihkan lagi mayoritas dari mereka adalah kawula muda yang seharusnya lebih mementingkan ngaji daripada gradag-grudug dzikiran dan ziarah kubur. Apalagi hanya sebatas dzikir, tanpa dibekali pengetahuan subtansi dzikir itu apa.

“Eman otake cah. Wong lagi enom-enome ikuh otak lagi bagus-baguse kanggo ngaji. Dudu kanggo sibuk dzikir bae.” Sayang pikirnya. Orang masa muda itu otak lagi bagsu-bagusnya buat ngaji. Bukan untuk sibuk dzikir. Tutur pengasuh Ponpes KHAS Kempek itu. Tutur pengasuh Ponpes KHAS Kempek itu.

Memang tidak bisa dipungkiri. Fenomena dzikir sekarang sudah jauh subtansi dzikir itu sendiri. Seolah hanya bacaan yang ramai di lidah, tapi sunyi di hati. Tidak banyak memberi pengaruh. Bahkan lebih jauh lagi. Oleh beberapa kalangan, dzikir hanya sebagai sarana pengumpul suara umat dan sebatas gempita seremonial belaka. Lebih parah lagi acara dzikir berjama’ah dijadikan daftar agenda politik yang bahkan sarat provokasi dengan implikasi kebencian terhadap lawan politik. Na’udzubillah.

Padahal kalau dipahami secara baik, dalam Al-Quran sebenarnya dzikir memiliki fungsi pengingat hamba Allah agar selalu bertaqwa, menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya.

Dalam Al-Quran, dzikir selalu menyasar pada hati seorang mukmin dalam impilkasi ketenangan (tathmainnul qulub) dan gemetar (wajilat qulubuhum).

Dalam konteks memberi ketenangan, implikasi dzikir ini dijelaskan dalam Q.S. Ar-Ra’ad ayat 28 yang berbunyi.


أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Tidakkah dengan berdzikir itu akan menentramkan hati

Konteks “ketengan” hati di sini adalah jika mengingat (dzikr) janji-janji Allah dalam bentuk pahala yang diperuntukan bagi sekalian hamba-hambanya yang takwa di hari akhir kelak.

Semantara konteks memberi rasa gemetar, implikasi dzikir ini dijelaskan dalam Q.S Al-Anfal ayat 2 yang berbunyi:


إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, maka gemetarlah hatinya.”

Kontek “gemetarnya” hati di sini adalah jika mengingat ancaman-ancaman Allah bagi hambanya yang durhakan di hari akhir kelak dalam bentuk siksa.

Lebih dalam lagi dzikir marupakan salah satu media untuk sampai (wushul) kepada Allah Swt.

Dalam kitab Hujatu Nahdlotil ‘Ulama dijelaskan bahwa, seorang hamba terdiri dari dua komponen, yaitu ruh dan jasad. Karakter ruh adalah jauh dari sifat-sifat materialistik (basyariyah). Sementara jasad kebalikannya.

Ketika ruh dan jasad disatukan, sementara ruh masih bersih dari penyakit-penyakit ruhani. Maka saat dzikir (menyebut nama Allah atau asmaNya), ruh itu akan memberontak dan inilah kondisi yang sering dialami oleh hamba-hambaNya yang wushul. Mungkin kita pernah melihat ada orang berdikir sampai badannya bergetar. Bahkan tidak jarang mereka yang sampai terjatuh saking kuatnya energi yang dirasakan saat berdzikir.

Dulu saat ruh diciptakan, sudah melakukan isumpah setia kepada Allah Swt. untuk beribadah kepadaNya (al-qiror bil ‘ubudiyah). Ketika dalam ruh itu mendengar nama Allah atau asmaNya. Maka ruh yang suci akan membrontak, sadar bahwa ia dulu pernah ikrar untuk semantiasa beribadah kepada Allah Swt. (Iqoror bil ‘ubudiyah).

Dalam Q.S. Al-A’raf: 172 Allah berfirman,



ﻭَﺇِﺫْ ﺃَﺧَﺬَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻣِﻦْ ﺑَﻨِﻲ ﺁﺩَﻡَ ﻣِﻦْ ﻇُﻬُﻮﺭِﻫِﻢْ ﺫُﺭِّﻳَّﺘَﻬُﻢْ ﻭَﺃَﺷْﻬَﺪَﻫُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﺃَﻟَﺴْﺖُ ﺑِﺮَﺑِّﻜُﻢْ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺑَﻠَﻰ ﺷَﻬِﺪْﻧَﺎ

“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari (sulbi) mereka dan Dia mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Rabbmu (satu-satunya yang pantas disembah)?” Mereka menjawab: “Betul, kami bersaksi”.[Al-A’rof: 172]

Jadi, dzikir bukan media untuk mengumpulkan suara politik atau gempita seremonial belaka. Tapi tujuan utama dzikir adalah untuk mengingat Allah. Dengan mengingatNya, hati seorang hamba akan tentram karena janji-janji pahala bagi hambanya yang taat sekaligus waspada akan ancaman-ancaman siksa bagi hambaNya yang durhaka. Lebih dalam lagi dzikir merupakan media untuk mengingatkan kita akan sejatinya kita untuk apa diciptakan, yaitu tiada lain untuk beribadah kepada Allah Swt. sebagaimana dulu ruh-ruh kita pernah ikrar setia untuk senantiasa beribadah. Wallahu a’lam bishawab. (KHASMedia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here