Kisah Persahabatan Buya Ja’far Aqiel dan Abah Syarif Utsman Yahya

0
703

KHASKEMPEK.COM – Buya Ja’far: “KH. Syarif Utsman Yahya, Kiai dengan Lautan Ilmu.”

Wafatnya kang Ayip Utsman, demikian saya biasa memanggil beliau, pada Ahad 7 November 2010 pukul 15.45 WIB, membuat saya sangat kehilangan. Selain sebagai teman beliau juga saya anggap sebagai orang tua dan guru. Sebab selama ini, saya selalu mendapat bimbingan dari beliau.

Saya banyak menimbah ilmu, minta saran dan pendapat kepada beliau. Sehingga, meskipun saya hanya mengenyam pendidikan pesantren, namun terkadang bisa berpikir yang agak progresif, itu karena belajar sama beliau.

Terus terang, saya saya kagum kepada Kang Ayip, terutama masalah keilmuan. Sebab almarhum kalau bicara hadits, seperti ahli hadits, bicara tafsir, beliau memperlihatkan sebagai ahli tafsir, sampai pada ilmu-ilmu kontemporer pun demikian, seperti ekonomi, elektronik, astronomi, politik, komunikasi dan berbagai disiplin ilmu lainnya.

Padahal pendidikan beliau, setahu saya, sama dengan saya hanya di pesantren salaf dan tidak pernah kuliah di perguruan tinggi besar atau umum, seperti ITB, IPB, ITS, UGM dan lain sebagainya. Sehingga saya sangat kagum pada beliau. Bahkan, saya sempat berpikir, apakah ini yang dimaksud dengan ilmu laduni. Sehingga sering menimba ilmu kepada beliau mengenai hal-hal tersebut.

Inilah beberapa hal yang menguatkan saya untuk melakukan langkah-langkah kerja baik sebagai ketua MUI maupun sebagai pengasuh pesantren. Namun setelah beliau tidak ada, saya sangat kehilangan, karena tidak ada lagi teman untuk bertanya, atau yang mengingatkan bahkan menghardik jika saya melakukan kekhilafan.

Disamping mumpuni dalam bidang keilmuan, Kang Ayip juga memiliki keahlian dalam bidang politik dan kepeduliannya terhadap seni budaya Islam. Hal ini bisa kita lihat dalam sejarah gerakan dan aktifitasnya semasa hidup.

Kepeduliannya pada seni tradisi Islam dan pesantren diwujudkan dalam bentuk mendirikan atau pembentukan grup seni gambus “Andassussauthan” bersama Kang Said Aqil sebagai biduannya. Pada waktu itu, grup ini beberapa kali beberapa kali manggung memenuhi undangan panitia untuk menghibur masyarakat pada berbagai event, seperti khitanan, peringatan hari besar Islam dan lain sebagainya.

Namun setelah bapak saya mengetahui, kalau Kang Said terlibat, beliau kemudian melarang Kang Said ikut dalam gambus tersebut. Bapak mengatakan bahwa saya setuju dengan adanya Lesbumi, tapi tidak setuju anak saya ikut nyanyi. Sehingga setelah Kang Said mundur, grup inipun pada akhirnya bubar.

Bapak saya memang ketat dalam mengawasi dan memberikan pendidikan pada anak-anaknya. Kami hanya diperbolehkan menuntut ilmu, dan tidak boleh untuk lainnya. Saya ingat betul pada peristiwa Gestapu sekitar tahun 1965/66.

Ketika itu, saya berumur 16 tahun, saya ikut puasa sebagaimana teman-teman yang lain dengan tujuan menguasai ilmu kanuragan tertentu. Namun dilarang oleh orang tua saya. Selain itu saya juga dilarang untuk belajar silat dan kegiatan lainnya. Saya hanya diperintah oleh orang tau untuk mengaji.

Dalam ranah politik, saya kira langkah yang ditempuh Kang Ayip juga menarik. Beliau adalah orang yang konsisten pada perjuangan keumatan dan ke-NU-an. Hal ini dibuktikan, ketika NU masih berfusi dengan PPP, pada tahun 1977 beliau adalah ketua komisaris PPP Kecamatan Ciwaringin, dimana saya duduk sebagai wakilnya.

Namun demikian, seiring berjalannya waktu, kondisi sosial politik pun berubah secara drastic. Di bawah kekuasaan orde baru yang memanfaatkan alat Negara sebagai penopang utamanya, penguasa orde baru melakukan penekanan terhadap kelompok-kelompok masyarakat dan organisasi keagamaan yang dianggap bertentangan dengan kebijakannya.

Kiai-kiai NU dan pesantren pada waktu itu, banyak menerima perlakuan intimidasi dan diskriminasi dari orde baru dan kroninya. Termasuk di dalamnya adalah pemaksaan terhadap kiai dan NU, agar masuk dan bahkan menjadi pendukung partai Golongan Karya (Golkar).

Akibat dari tekanan yang terus menerus ini, banyak diantara kiai yang pada akhirnya melemah dan menerima tekanan orde baru tersebut. Sebenarnya para kiai yang menerima untuk masuk Golkar, didasari pada pertimbangan keselamatan umatnya. Sebab, pemerintah pada waktu itu, bukan hanya melakukan penekanan terhadap kiai, tetapi juga kepada NU dan warga masyarakat.

Masuknya kiai-kiai ke Golkar, sama sekali tidak memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, apalagi sampai keinginan untuk mendapatkan jabatan atau materi. Yang menjadi pikiran dan pertimbangan mereka adalah keselamatan umat dan warganya.

Paling tidak, langkah itulah yang dilakukan oleh almarhum KH. Fuad Amin dan H. Syafi’i. Beliau-beliau ini, pada waktu itu, adalah para penggerak dan panutan di NU. Sehingga wajar kalau beliau-beliau ini, menjadi target sasaran pemerintah orde baru. Pernah pada suatu ketika KH. Fuad Amin, H. Syafi’i dan KH. Yahya Masduki datang membawa surat ke Kang Ayip. Isi surat tersebut adalah pernyataan yang harus ditandatangani oleh Kang Ayip untuk masuk Golkar.

Meski sudah dibujuk oleh teman-temannya, beliau tetap menolak. Kang Ayip bahkan mengatakan “kita mader wis biasa urip blenak, tapi bli garep manjing Golkar” (saya sudah terbiasa hidup susah, meski begitu tidak akan masuk Golkar).
Setelah merasa buntu dan tidak mampu membujuk Kang Ayip, akhirnya kami mendatangi Kiai Hasan, adik ibu saya. Kepada beliau, H. Syafi’i menyampaikan bahwa kami sudah mendatangani surat pernyataan masuk Golkar, tinggal Kang Ayip yang belum. Kemudian Kiai Hasan meminta kepada Kang Ayip untuk menerima dan menandatangani surat tersebut.


Bahkan, beliau mengatakan, “saya sebenarnya sejak dulu kamu masuk Golkar seperti Kiai Wahid dan Kiai Mustain Romli, sekarang mumpung ada kesempatan apalagi NU secara organisasi sudah menyatakan kembali ke khittah 1926, maka masuklah ke Golkar”. Atas perintah Kiai Hasan, Kang Ayip kemudian menajawab, “sami’na wa atho’na, saya mengikuti perintah guru”. Setelah itu Kang Ayip langsung menandatangani surat pernyataan masuk Golkar.

Pilihan tersebut, memang pada akhirnya menjadi polemic di antara kiai-kiai lain yang tetap berpegang teguh pada pendirian semula. Disamping mematuhi perintah gurunya, Kang Ayip juga mempertimbangkan kepentingan umat dan organisasi (gerakan) dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Bagi beliau, masuk Golkar hanya strategi bagaimana menyelamatkan umat dari tekanan rezim yang berkuasa pada saat itu.

Sehingga ketika rezim orde baru tumbang, dengan lengsernya Suharto sebagai presiden, Kang Ayip pun kembali ke habitatnya sebagai penggerak dan pendamping warga NU. Bergulirnya reformasi dimanfaatkan betul oleh Kang Ayip untuk mendirikan partai politik yang bisa mewadahi aspirasi Nahdliyin. Sehingga, setelah melalui proses yang cukup panjang akhirnya terbentuklah PKB, dimana beliau menjadi salah satu pengurus.

Dengan demikian, strategi bersembunyi di balik Golkar yang dilakukan Kang Ayip selama kurang lebih 12 tahun (1986-1998) berakhir setelah reformasi digulirkan, yang member kebebasan setiap warga Negara untuk berkumpul dan berserikat termasuk mendirikan partai politik.
Selain itu, hal menarik dari Kang Ayip adalah pilihannya yang selalu berbeda dengan kiai-kiai lain. Selain masalah politik, sebagaimana dijabarkan di atas, beberapa tahun belakangan, beliau juga sering melakukan gerakan atau pendapat yang berbeda dengan kiai pada umumnya. Seperti dalam menyikapi masalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Hampir seluruh kiai di Indonesia ini, termasuk saya, menyatakan bahwa Ahmadiyah itu sesat karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Namun Kang Ayip memiliki pendapat yang berbeda dan mengatakan bahwa saya membela minoritas, dan saya membela Ahmadiyah. Karena harusnya mereka kita ajak dan kita dakwahi secara baik-baik.
Pernah pada suatu ketika, Kang Ayip diundang oleh teman-teman MUI untuk berdiskusi masalah Ahmadiyah. Karena selama ini pendapat Kang Ayip ini, tidak sama dengan kiai-kiai yang ada di Cirebon. Namun menurut saya ada hal yang kurang pas disampaikan oleh beliau terkait pembelaannya terhadap Ahmadiyah, beliau mengatakan, “saya siap keluar dari Kempek”.

Saya melihat apa yang dilakukan Kang Ayip ini persis dengan gayanya Gus Dur, melakukan sesuatu yang berbeda dengan kebanyakan kiai. Sehingga dalam konteks Cirebon, apa yang dilakukan Kang Ayip berdampak negative terhadap pencitraan dirinya. Meski pro-kontra dalam tradisi kiai itu biasa, namun tetap saja ada dampaknya. Sehingga wajar kalau sekarang kiai-kiai memandang negative terhadap Ansor, karena dianggap sebagai kepanjangan gerakannya Kang Ayip terutama dalam pembelaannya terhadap Ahmadiyah.

Itulah sosok Kang Ayip, dalam pandangan saya. Disamping sebagai teman, guru, juga terkadang sebagai lawan debat dan juga lawan politik. Namun demikian Kang Ayip memiliki sifat pemaaf dan tidak pendendam. Meski dengan saya sering berbeda pendapat, namun ketika saya datang dan meminta nasihat dalam masalah lain, beliau menerima saya dengan baik. Kami menyadari bahwa perbedaan pendapat itu rahmat. Sehingga tidak harus dipaksakan, apalagi sampai harus memutus tali persaudaraan.

Kang Ayip memang sosok yang fenomenal dan pengayom seluruh komponen masyarakat. Saya secara pribadi tidak sanggup untuk menggantikan posisi beliau, yang mau menerima dan mendengarkan siapapun yang datang dan mengutarakan persoalan yang dihadapinya meski sampai larut malam. Bahkan dengan tegas saya mengatakan tidak sanggup ketika saudara Munajim, meminta saya untuk menggantikan posisi Kang Ayip. Karena saya merasa untuk ngurus pesantren saja waktunya sudah habis, apalagi untuk masalah-masalah yang lain.

Inilah sekilas tentang beliau, meskipun masih banyak hal yang ingin saya sampaikan, namun karena keterbatasan waktu dan kesempatan, mudah-mudahan pada kesempatan lain bisa saya sampaikan. Semoga beliau dimaafkan segala dosanya, dan diterima segala amalnya, amin ya robbal ‘alamin.

*Tulisan ini diambil dari testimony pada peringatan 7 hari almarhum KH. Syarif Usman Yahya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here