KH Umar Sholeh, Pendidik Umat Dan Pecinta Al-Quran

1
1856
Romo KH Umar Sholeh

KHASKEMPEK.COM – Di sela-sela kesibukannya membimbing santri dan mengayomi umat, Kiai Umar tetap menyempatkan waktu untuk menulis, meski tak banyak yang berhasil dibukukan.

Nama KH Umar Sholeh, memang terasa asing di telinga sebagian orang. Ya, kiai kelahiran 12 Februari 1922 ini memang lebih memilih mendedikasikan hidupnya untuk ilmu dan membaktikan diri mendidik umat.

Namun, bagi masyarakat Cirebon dan sekitarnya, Kiai Umar, adalah sosok pendidik umat yang sangat bersahaja. Kiai Umar adalah rujukan masyarakat terkait dengan persoalan keagamaan, dan juga urusan sosial.

Ia tak segan-segan mendatangi dan mengetuk tiap pintu rumah penduduk untuk berdakwah. Dakwah yang disampaikan sangat elegan, tak hanya bertumpu kepada lisan, tetapi bagaimana tindakan dan keteladannya mampu menginspirasi (dakwah bil hal).

Dakwah dari rumah ke rumah itu ia lakoni hingga aksi militan kelompok Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia DI/TII mencuat. Kelompok ini bergerilya di bawah gelapnya malam, sehingga kebiasaan yang ia lakoni itu dikhawatirkan bisa mengancam keselamatan. Putra ketiga dari pasangan KH Harun Sholeh bin K Mustam (Kedondong, Cirebon) dan Nyai Mutimah binti KH Nawawi ini, juga seorang pendidik yang sangat disegani.

Mengutip buku Para Penjaga Alquran, selama memimpin pesantren peninggalan ayahnya yaitu Pesantren Kempek, Desa Kempek, Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, ia adalah sosok orang tua sekaligus guru pengayom yang sangat disiplin.

Dalam menerapkan peraturan, ia tidak pandang bulu, meskipun kepada anaknya sendiri. Ia kerap memberikan hukuman fisik dengan memukul punggung dengan rotan, tanpa bermaksud merendahkan dan mencederai. Ini semata-mata adalah bentuk pendisiplinan.

Sanksi keras juga diberlakukan dalam setoran hafalan Alquran, jika santri atau anakya sendiri salah, Kiai Umar akan mengetuk meja di depannya. Jika kesalahan itu berlanjut sampai dua kali, santri akan disuruh pulang kembali ke asrama. Apabila besoknya belum hafal juga, santri yang bersangkutan disuruh memisahkan diri dari kelompoknya, tapi masih dalam satu ruangan sampai anggota kelompoknya selesai.

Satu hal yang patut diteladani adalah, sikap kehati-hatian sebagai seorang pendidik dalam mentransfer ilmu. Ia selalu menelaah isi kitab sebelum menyampaikannya kepada para santri.

Ritual talaah kitab dilakukan sejak pukul 01.00 dini hari setelah shalat malam, khususnya kitab-kitab yang menarik dalam kehidupan terkini. Di antara kitab yang menjadi langganan telaahnya adalah Fath al-Bari, Tanbih al-Ghafilin, Fath al-Mu’in, Tafsir al-Munir, dan lainnya. Kegiataan menelaah kitab-kitab berhenti sejak 1996 atau dua tahun menjelang wafatnya pada 1998.

Kecintaannya terhadap Alquran terpatri sejak kecil. Dalam mendalami Alquran dan ilmu-ilmu lainnya, sejak kecil Kiai Umar mendapatkan bimbingan dari ayahnya.

Ayahnya, KH Harun, selalu menekankan kepada anak-anaknya untuk menguasai ilmu Alquran dan displin ilmu alat, seperti bahasa Arab. Kiai Umar memang tidak pernah mengikuti pendidikan formal seperti di MI, MTs, dan sekolah tingkat lanjutan, tetapi penguasannya terhadap ilmu sosial dan ilmu lainnya tidak dapat disepelekan.

Setelah memasuki usia 25 tahun, ia belajar di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta pimpinan KH Munawir bin Abdullah Rosyad dan akhirnya menikah dengan Nyai Hindun, putri pengasuh pesantren tempat ia memondok. Ketika itu usia Kiai Umar sudah 35 tahun.

Meskipun ia lebih menekuni metode belajar Alquran dengan bi an-nazhar, bukan bil ghaib, tetapi hal itu tak mengurangi kapasitas keilmuannya. Bahkan melalui jalur ini, ia memperoleh sanad (syahadah) sampai kepada Rasulullah SAW (dengan mata rantai sebanyak 36 sanad). Kiai Umar menggunakan cara yang sama untuk mengajar para santrinya. Ia memberikan perumpamaan sekaligus sebagai penyemangat kepada santrinya agar sering-sering membaca Alquran.

Karena dengan seringnya membaca ayat-ayat Alquran, orang itu akan mengetahui apabila orang lain salah membaca ayat-ayat yang sering dibacanya. Setiap orang wajib membaca surah al-Fatihah dalam setiap rakaat dari shalatnya. Karena seringnya surat tersebut dibaca, maka akan hafal. Sehingga apabila kita mendengar seseorang membaca al-Fatihah yang salah maka dengan mudah akan diketahuinya kesalahan tersebut, katanya.

Diakui memang, selama belajar di pesantren, kecerdasannya memang tak terlalu menonjol. Namun, justru kecerdasannya mengemuka saat ia mulai memimpin pesantren, meski masih berusia muda.

Kiai Umar kerap terlibat aktif sebagai peserta pengkajian fikih (bahts al-masail) di lingkungan para kiai Cirebon pada masa itu. Ia bahkan dinobatkan sebagai peserta termuda yang memiliki sumbangsih dalam menghasilkan keputusan.

Di sela-sela kesibukannya membimbing santri dan mengayomi umat, Kiai Umar tetap menyempatkan waktu untuk menulis. Dalam perjalanan hidupnya sudah tujuh buku berisi penjelasan dari berbagai masalah keilmuan yang ditemukannya saat membaca kitab. Salah satu buku penjelasan tersebut ada yang memuat catatan-catatan hasil telaahnya terhadap 14 kitab.

Catatan-catatan itu jika diterbitkan tentu akan menjadi karya besar seorang alim Cirebon. Namun, karena keterbatasan dana, catatan-catatan tersebut belum diterbitkan.

Sampai akhir hayatnya, baru dua buku karya Kiai Umar yang berhasil diterbitkan. Buku pertama membahas tentang qiraat Alquran dan buku kedua tentang soal-jawab yang ditulis dalam bahasa Jawa.

Meski ia disibukkan dengan urusan di luar rumah, seperti mengurus santri dan mendidik umat, tapi hal ini tak membuatnya melalaikan keluarga. Segala kebaikannya selalu dikenang oleh keluarganya.

Ia juga sering bersenda gurau terhadap keluarganya, misalnya ketika ia dan keluarganya bersilaturahim ke sanak familinya dengan berjalan kaki. Saat itu, istri dan anaknya sudah kelelahan. Kebetulan ketika itu istrinya menggunakan kebaya merah, ia bercanda dan menakuti-nakuti sang istri, bila di tempat sang istri istirahat sering lewat kerbau.

Biasanya kerbau itu suka nyeruduk kalau melihat warna merah. Maka nyai yang duduk di situ akan diseruduk, perkataan itu membuat istrinya ketakutan dan merangkul suaminya. Siti Aisyah, istrinya pun tertawa lebar.

Begitulah sisi humoris Kiai Umar dengan keluarga. Namun, dalam memberikan pendidikan terutama kepada putranya, ia memiliki peraturan ketat dan sangat disiplin. ed: nashih nashrullah. (Khas Media)

Sumber tulisan: RepublikaOnline

#repost
#khasmedia
#khaskempek
#khaskempekdotcom
#ponpeskempekcirebon
#ponpeskhaskempekcirebon
#literasikhaskempek

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here