KH Idris Kamali, Penerus Dakwah Sang Hadratussyekh

1
837

KHASKEMPEK.COM – Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari telah mencetak banyak kader ulama di Indonesia. Salah seorang di antaranya adalah KH Idris Kamali.

Ia dikenal sebagai seorang mubaligh yang tekun dan gigih dalam mengamalkan ilmu, serta takzim terhadap gurunya. Kepakarannya meliputi berbagai bidang, terutama ilmu hadis, fikih, tasawuf, dan gramatika bahasa Arab.

Nama lengkapnya adalah KH Idris bin Kamali bin Abdul Jalil Assyarbuni. Ia merupakan anak pertama dari pasangan KH Kamali bin Kiai Abdul Jalil dan Nyai Saudah. Ketika Idris lahir, keduanya sedang berada di Tanah Suci Makkah al-Mukarramah pada 1887.

Kiai Kamali merupakan salah satu simpul dalam jejaring ulama Nusantara di Haramain. Sang alim asal Cirebon, Jawa Barat, itu memiliki keahlian dalam ilmu qiraat dan falak. Tidak hanya menuntut ilmu, ayahanda Kiai Idris itu juga mengajar di Masjidil Haram.

Sementara itu, Kiai Abdul Jalil, yakni kakeknya, juga termasuk ulama besar. Meskipun berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah, kiprahnya di Cirebon cukup besar, termasuk dalam mendirikan sebuah pesantren setempat.

Bila dirunut konteks zamannya, Kiai Idris cukup sebaya dengan sejumlah ulama besar asal Indonesia yang berkarier di Tanah Suci. Sebut saja, Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897), Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), dan Syekh Muhammad Mahfuzh at-Tarmasi (1842-1920).

Seorang muridnya, Prof KH Tholhah Hasan, pernah mengungkapkan bahwa Kiai Idris selevel dengan Syekh Muhammad Yasin al-Fadani (1916-1990), seorang ulama berdarah Minangkabau yang lahir di Makkah. Sebab, keduanya dinilai sama-sama ahli sanad hadis.

Rihlah keilmuan Idris bin Kamali tidak bermula di kota tempatnya dilahirkan, Makkah. Sebab, kedua orang tuanya kembali ke Tanah Air pada 1908. Di Cirebon, ia memperoleh pendidikan langsung dari ayahnya.

Ia juga belajar di Pondok Pesantren APIK Kaliwungu, Kendal. Lembaga itu diasuh seorang sahabat Kiai Kamali tatkala masih merantau di Tanah Suci, yakni KH Irfan Musa.

Setelah beberapa tahun nyantri di Kaliwungu, Idris muda kemudian dipercaya Kiai Irfan sebagai lurah pondok pertama pada 1919. Sebab, Kiai Irfan sudah menemukan tanda-tanda kealiman dalam diri santrinya itu. Di pesantren pertamanya tersebut, Idris remaja belajar menghafal Alquran. Selain itu, dirinya juga mendalami ilmu hadis, khususnya perihal sanad, selama tiga tahun.

Dari Kaliwungu, Idris kemudian meneruskan pendidikan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Inilah untuk pertama kalinya ia mendapatkan pola pengajaran langsung dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Di Tebuireng, Idris memperdalam pengetahuannya terutama tentang ilmu hadis. Inilah kesempatan baginya. Sebab, sosok Mbah Hasyim begitu masyhur sebagai seorang pakar hadis di seluruh Tanah Jawa.

Selama menjadi santri, pemuda asal Cirebon itu semakin gemar membaca. Ada banyak kitab yang menjadi koleksinya. Bahkan, buku-buku tersebut hingga kini masih tersimpan di perpustakaan Pondok Pesantren Tebuireng dan sering menjadi rujukan dalam bahtsul masail di lingkungan Nahdliyin.

Di bawah bimbingan Mbah Hasyim, ia mengkaji dan menghafal berbagai kitab beserta dengan penjelasan (syarah) masing-masing. Sebagai contoh, kitab fikih Al-Ghayah wa-t-Taqrib dan kitab ilmu nahwu Mutammimah.

Badal Mbah Hasyim

Beberapa tahun kemudian, Idris mendapatkan kabar bahwa dirinya dapat berangkat ke Makkah untuk menunaikan haji sekaligus melanjutkan rihlah keilmuan. Sebelum pergi ke Tanah Suci, ia sempat mengajar di Tebuireng hingga beberapa waktu lamanya.

Baginya, pekerjaan itu adalah sebuah kewajiban yang mesti ditunaikannya sebagai bentuk takzim kepada Mbah Hasyim, gurunya yang telah mengajarkan banyak ilmu agama.

Sejak masih berusia anak-anak di Cirebon, dirinya terbiasa menghafalkan Alquran 30 juz. Di samping itu, kebiasaannya tidak pernah lalai dalam menjalankan ibadah, baik sunah dan tentunya yang wajib.

Selain itu, berbagai riyadhah atau latihan spiritual pun ditekuninya setiap malam. Pada siang hari, puasa sunah rutin diamalkannya. Maka, tak heran bila Mbah Hasyim menaruh kesan mendalam terhadap santrinya itu.

Hingga suatu hari, kakek presiden keempat RI KH Abdurrrahman Wahid atau Gus Dur itu memanggilnya. Idris kemudian ditunjuk sebagai asisten atau badal Mbah Hasyim dalam mengajar beberapa kitab di Tebuireng. Sejak itulah perannya sebagai pengajar mulai tampak. Banyak santri yang mengaguminya sebagai keteladanan dalam menuntut ilmu.

Ternyata, penghargaan Mbah Hasyim tak berhenti sampai di sana. Idris lantas diangkat sebagai menantu. Ia menikah dengan putri keempat Mbah Hasyim yang bernama Nyai Azzah pada akhir 1920-an. Dari pernikahan ini, pasangan tersebut dikaruniai seorang putra bernama Abdul Haq yang lahir pada 1929.

Begitu besar rasa cinta dan sayangnya untuk sang istri. Nyai Azzah meninggal dunia dalam usia yang terbilang masih muda. Sejak itu, Kiai Idris tidak berniat untuk menikah lagi. Kasih sayang yang besar juga dicurahkannya untuk Abdul Haq, putra semata wayangnya.

Sebagai pengajar di Tebuireng, Kiai Idris lebih senang mengumpulkan para muridnya di masjid daripada madrasah. Alasannya, dirinya ingin mendapatkan dua pahala sekaligus dari ibadah yang berbeda, yakni iktikaf dan mengajar.

Adapun metode yang sering digunakannya ialah sorogan. Para santri membaca kitab di hadapannya. Jika terdapat kesalahan, maka Kiai Idris akan mengoreksinya secara langsung.

Metode sorogan sangat efektif di pesantren. Sebab, cara demikian bisa membuat para santri lebih terampil dalam membaca kitab-kitab klasik. Tidak hanya mengajari para santri agar piawai dalam membaca kitab, Kiai Idris juga mengajak mereka untuk melaksanakan pelbagai amalan sunah, seperti puasa Senin-Kamis atau shalat malam.

Selama di Tebuireng, Kiai Idris juga mempunyai kebiasaan unik. Ia senang memelihara hewan ternak, seperti sapi atau kambing. Hobi tersebut dilakukannya bukan untuk mencari kekayaan, melainkan agar dirinya dapat lebih rutin bersedekah.

Sering kali, ia memberikan susu sapi perahan kepada dewan guru di lingkungan Tebuireng. Bahkan, ketika cucu Mbah Hasyim, Gus Dur hendak menikah, Kiai Idris memberikan beberapa ekor kambingnya untuk acara walimah.

Ada beberapa cerita yang berkembang di lingkungan Tebuireng. Salah satunya ialah keberkahan Kiai Idris. Karena itu, masyarakat setempat umumnya membiarkan hewan-hewan ternak peliharaan sang kiai untuk memakan tanaman miliknya.

Sesungguhnya, Kiai Idris tidak hanya aktif di Tebuireng, melainkan juga beberapa pesantren lainnya di Jawa pada 1940-an. Misalnya, Pesantren Kaliwungu di Kendal atau Pesantren Kempek Cirebon. Dalam menjalankan tugasnya sebagai guru, ia pun turut berjuang.

Demi menghindari kejaran polisi intel Belanda, mubaligh ini kerap menempuh jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang mengajar. Sebab, dirinya memang sering menggelorakan semangat jihad melawan penjajahan kepada para santrinya.

Kiai Idris menjadi pengajar tetap di Tebuireng antara tahun 1953 dan 1973. Sesuai dengan wasiat Mbah Hasyim, dirinya pun mempertahankan sistem salaf atau ngaji sorogan di sana sebagai metode pembelajaran kepada para santri. Hingga akhirnya, ia diperbolehkan keluarga pengasuh pondok pesantren itu untuk berangkat ke Tanah Suci.

Pada 1981, ulama yang tawaduk itu menuntaskan rihlah keilmuannya di Haramain. Alih-alih Tebuireng, kali ini dirinya mengamalkan ilmu di tempat asal keluarganya, Cirebon.

Di sanalah Kiai Idris terus berkiprah hingga ajal menjemputnya pada Juli 1984. Dai tersebut wafat dalam usia lebih dari 90 tahun. Jenazahnya dikebumikan di kompleks permakaman keluarga di area Pondok Pesantren Kempek, Cirebon.

Dalam sebuah artikel, seorang muridnya Prof KH Tholhah Hasan memberikan kesaksian. Menurutnya, ketokohan sang guru dapat disandingkan dengan KH Adlan Aly, yang juga murid langsung Mbah Hasyim Asy’ari. “Di Tebuireng itu, ada dua penghuni surga: Kiai Idris Kamali dan Kiai Adlan Aly. Beliau berdua sama-sama alim, wara, zuhud,” tutur menteri agama RI periode 1999-2001 itu.

Sementara itu, Ketua Umum PBNU Prof KH Said Aqil Siroj mengenang masa-masa belajarnya saat di Makkah. Dalam fase hidupnya, ulama yang juga kelahiran Cirebon, Jawa Barat, itu pernah mengaji kitab kepada Kiai Idris. Bahkan, dirinya termasuk memiliki hubungan kekerabatan dengan sang alim. Sebab, ibu kandung Kiai Said merupakan sepupu dari Kiai Idris, yaitu Afifah binti Harun bin Abdul Jalil. 

Disiplin dalam Mencetak Kader Ulama

Dalam sebuah hadis disebutkan, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi.” Maknanya, sepeninggalan Rasulullah SAW kaum Muslimin hendaknya memuliakan dan mengikuti arahan para alim ulama. Pesan beliau juga mengisyaratkan pentingnya kaderisasi para mubaligh agar risalah Islam dapat terus disampaikan dari generasi ke generasi.

Khususnya di Indonesia, pondok pesantren merupakan salah satu tempat penggemblengan anak-anak muda yang hendak menempuh jalur dakwah. Di antara lembaga yang cukup masyhur ialah Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur.

Pendirinya, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, menerapkan pola pendidikan yang penuh disiplin dan berhikmah. Dengan begitu, para lulusan Tebuireng dapat menjadi ulama-ulama yang cerdas, tangguh, dan sekaligus teladan dalam menyebarkan paham ahlus sunnah wa al-jama’ah (aswaja).

Salah seorang muridnya yang kerap menjadi rujukan ialah KH Idris Kamali. Sejak menjadi santri, putra KH Kamali bin Kiai Abdul Jalil itu sudah menerapkan pola-pola pendidikan yang diajarkan Mbah Hasyim. Pada akhirnya, pemuda yang lahir di Makkah al-Mukarramah, Arab Saudi, itu menjadi seorang staf pengajar di Tebuireng.

Lebih dari 20 tahun lamanya ia mengajar kitab-kitab klasik kepada para santri setempat. Mengikuti jejak Mbah Hasyim, Kiai Idris Kamali selalu menekankan pentingnya regenerasi dai. Namun, suatu waktu dirinya menyadari bahwa Tebuireng saat itu sedang mengalami kemunduran dalam mencetak alim ulama yang mumpuni.

Hal ini seiring dengan munculnya sistem pendidikan madrasah berjenjang. Prihatian atas kondisi tersebut, Kiai Idris kemudian memusatkan metode pengajarannya kepada sekitar 20 santri. Mereka dibimbing dengan sangat intens agar dapat menjadi ulama. Untuk menjadi “santri pilihan”, ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi.

Di antaranya adalah seorang santri harus tinggal di pesantren minimal tiga tahun. Selain itu, santri yang dimaksud mempunyai kesungguhan dan prestasi luar biasa. Misalnya, tuntas menghafal beberapa kitab utama dan pelajaran tingkat dasar. Tentunya, mereka harus patuh terhadap arahan para kiai dan ustaz, terutama dalam menunaikan shalat jamaah lima waktu di masjid.

Tak sedikit santri Tebuireng yang pernah mengikuti kaderisasi tersebut pada akhirnya menjadi tokoh-tokoh besar. Di antaranya adalah, Prof KH Tholhah Hasan, Prof KH Ali Mustofa Yaqub, dan KH Ma’ruf Amin. Ada pula Prof Djamaluddin Miri, KH Abdul Hayyie, KH Mustofa Mukhtar, dan Prof KH Said Aqil Siroj.

Dikutip dari situs resmi Pondok Pesantren Tebuireng, masing-masing mereka ternyata menekuni spesialisasi keilmuan yang khas. Umpamanya, Kiai Ma’ruf Amin yang cenderung menerima tradisi keilmuan fikih dari Kiai Idris. Adapun Kiai Ali Musthafa Ya’qub meneruskan kepakaran sang alim dalam ilmu hadis.

Sumber: Republika/Muhyiddin

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here