Ketelitian dan Ketawadluan Kiai Ni’am dalam Mengajar Santri

1
1040

KHASKEMPEK.COM – Dalam dunia pendidikan pesantren, posisi seorang kiai tidak hanya sebagai Mu’allim bagi para santri, tapi juga Murabbi. Lantas, dimana letak perbedaan antar keduanya?

Secara sederhana seorang Mu’alim adalah orang yang hanya melakukan transfer intelektual. Sementara Murabbi lebih luas lagi, Murabbi adalah sosok yang di samping memberikan treansfer intelektual, juga transfer moral kepada sang murid (muta’allim). Seorang Murabbi berperan layaknya orang tua kandung bagi si murid.

Selain menstranfser keilmuan dari beragam fan, seorang kiai di pesantren secara intens mendidik moral seorang santri untuk menjadi sosok berbudi pekerti yang baik. Harapannya, di samping santri akan memiliki kecerdasan intelektual (Intelegent Quotinet), juga unggul dalam kecerdasal emosional (Emotioal Quotinet). Setahu penulis, KH Ni’millah ‘Aqil Siroj sudah dengan apik memainkan keduanya.

Dulu penulis sempat ngaji beberapa kitab di Kiai Niam. Di antaranya adalah mengaji Alquran, kitab Alfiyah Ibnu Malik, kitab Bulughul Maram dan beberapa kitab yang dikaji khusus edisi bulan Ramadan (di Kempek biasa disebut ngaji pasaran).

Sebagai santri yang pernah mengaji langsung ke Kiai Niam, penulis tahu betul bagaimana cara Kiai Ni’am mengajar. Di antaranya adalah ketelatenan mengajar beliau.

Ada yang unik dari cara Kiai Ni’am mengajar. Di samping kitab dimaknai (diafsahi) perkata dan dijelaskan dengan detail. Beliau biasa menggunakan metode Syarat-Jawab (kalau dalam istilah nahwu).

Misalkan beliau sedang menjelaskan kalimat Fi’il, “Jadi ‘apabila’ ada kalimat fiil, ‘maka’ membutuhkan pada fa’il”. Atau menjelaskan ‘Amil Nashib, “Jadi ‘apabila’ ada fiil mudhore dimasuki oleh salah satu dari ‘amil nashib, ‘maka’ hukumnya wajib dinashobkan…”

Belakangan penulis mendapat cerita dari ayah penulis sendiri. Konon dulu Almarhum KH ‘Aqil Siroj, ayah dari Kiai Ni’am sekaligus pendiri Ponpes KHAS Kmepek Cirebon, menggunakan metode yang sama saat menjelaskan materi kepada para santri. Hanya saja dulu Almarhum Kiai ‘Aqil menggunakan bahasa Jawa Kromo. Kurang lebih begini, misal ingin menjelaskan fiil, “Pundi kapan wonten kalimah fiil, mangka kedah wonten fa’il”.

Memang, ayah penulis dulu ngaji Alfiyah ke Kiai ‘Aqil. Berikutnya diteruskan anak-anaknya mesantren di Kempek. Mulai dari kakak saya, saya sendiri dan kedua adik saya.

Di samping ketelitian dalam mengajar, sebagai seorang Murabbi Kiai Ni’am juga tidak pernah luput memberikan teladan yang baik bagi para santri.

Suatu hari di pengajian Alfiyah, Kiai Ni’am merasa ada satu materi yang belum beliau kuasai betul. Dengan terbuka dan “tidak gengsi” beliau mengaku di depan para santri kalau beliau belum menguasai bab itu.

“Untuk bab ini (tidak saya sebutkan babnya), kalian silahkan cari guru lain, saya belum faham,” mantap Kiai Ni’am.

Padahal bisa saja, kalau memang belum mantap pemahaman dari materi yang akan diajarkan, misalkan bilang, “Untuk bagian ini kita lewat dulu, dilanjut besok.” Tetapi beliau tidak.

“Abror, silahkan kamu pergi ke tempat sepi. Malam-malam. Bawa penerang sendiri. ‘Pentelengi’ bab ini sampai paham, ya,” sambung Kiai Ni’am dengan ekspresi serius yang kami juga paham itu hanya guyon.

Saya yang waktu itu -seperti biasa- duduk di baris paling depan pojok kiri hanya menunduk takzim seagaimana posisi semua santri di ruangan itu.

Kendati saya haqqul yaqin. Bukan berarti Kiai Ni’am belum paham bab itu. Saya memahi itu adalah salah satu cara Kiai Ni’am mendidik moral para santri agar kelak misalkan jadi kiai (atau minimal ustadz) di masyarakat, untuk jangan “sok tahu” jika tidak paham satu persoalan tertentu.

Hal demikan memang laku-lampah rapa ulama yang semestinya. Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi (510-597 H) mencatat sebuah riwayat tentang seorang laki-laki yang bertanya kepada Imam Malik bin Anas:

وعن ابن مهدي قال: سأل رجل مالك عن مسألة؟ فقال: لا أحسنها. فقال الرجل: إني ضربت إليك كذا وكذا لأسألك عنها. فقال له مالك: فإذا رجعت إلي مكانك وموضعك فأخبرهم أني قلت لك: لا أحسنها

Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi berkata: “Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Malik tentang suatu masalah.” Imam Malik menjawab: “lâ uhsinuhâ—aku tidak mengerti masalah itu dengan baik.”

Kemudian laki-laki itu berkata: “(Tolonglah) aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa bertanya kepadamu tentang masalah ini.”

Imam Malik berkata kepadanya: “Ketika kau kembali ke tempat tinggalmu, kabarkan pada masyarakat di sana bahwa aku berkata kepadamu: lâ uhsinuhâ—aku tidak mengerti masalah tersebut dengan baik.” (Shifatus Shafwah, hlm 361)

Tapi sekarang, banyak sekali bertebaran ulama karbitan di media sosial yang asal ceplas-ceolos memberikan fatwa. Padahal ilmunya tidak jauh-jauh dari mbah google atau terjemahan. Ditanya soal agama tidak bisa, tapi tetap saja di jawab dengan jawaban ngawur. Anggapnya kalau malah diam, popularitasnya akan terancan.

Dalam kitab Al-Kamil fi Dhu’afa’irrijal (1/193) dijelaskan,

قال ابن سرح- توفي سنة (250هـ) -رحمه الله -: وقد صار لا أدري عند أهل زماننا هذا عيبًا!

Ibnu Sarh (250 H.) rahimahullah berkata, “Jaman sekarang, orang mengaku tidak tahu itu seolah menjadi aib bagi dirinya.” (KHASMedia)

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here