Kajian Tafsir Jalalain QS. Al-Maidah Ayat 3, Makna Kesempurnaan Agama (2)

0
519

KHASKEMPEK.COM – Setelah menjelaskan pendapat pertama tentang makna kesempurnaan agama dalam ayat ketiga surat al Maidah ini, Iqtibas kali ini menjelaskan pendepat kedua berikut ini:

Pendapat kedua mengatakan bahwa maksud dari penyempurnaan agama di sini adalah telah dituntaskannya ibadah haji sebagai rukum Islam yang terakhir, di mana orang-orang mukmin dapat melaksankannya secara sempurna tanpa ada keterlibatan orang-orang musyrik satu pun.

Seperti yang banyak disebutkan dalam riwayat hadist, sebelum peristiwa Haji Wada’ ini, haji adalah ritual yang dilaksankan baik oleh orang-orang mukmin ataupun orang-orang musyrik. Haji adalah tradisi yang diwariskan dari leluhur yang sama yaitu Nabi Ibrahim. Meraka sama-sama melaksanakan ibadah haji, akan tetapi dalam tata caranya yang lebih teknis, orang-orang Musyrik masih banyak melaksanakan praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Ini lah yang secara umum dapat menggangu dan menjadikan ibadah haji sepertinya kurang sempurna.

Maka pada hari diturunkannya ayat ini, di saat orang-orang musyrik Mekkah dan sekelilingnya telah memeluk agama Islam, ibadah haji pun dapat sepenuhnya disesuaikan dengan ajaran-ajaran Allah. Menurut pendapat kedua ini, pelaksanaan haji dengan konsekuen ini lah bentuk dari Allah telah menyempurnakan Agama ini. Agama dalam ayat ini berarti ritual agama atau yang sering disebut sebagai rukun Agama di mana ibadah haji adalah yang paling akhir disyariatkan dan pelaksanaannya dapat berjalan secara sempurna baru pada haji wada’ ini.

Kalau dilihat dari runtutan pembahasan ayat secara umum, pendapat kedua ini dianggap lebih tepat. Kenapa? Karena ayat ini dimulai dengan larangan-larangan terhadap perbuatan yang selama ini masih dilakukan oleh orang Musyrik seperti memakan bangkai, darah dan larangan-larangan lain. Semua larangan-larangan itu bertujuan untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam dari perbuatan-perbuatan terlarang yang selama ini masih dilakukan oleh orang-orang musyrik, terutama yang ditemukan ketika melaksanakan ibadah haji.
Maka sudah sewajarnya kemudian orang-orang mukmin diingatkan agar jangan lagi takut dan segan dengan orang-orang musyrik/kafir dalam menjauhi larangan-larangan Allah tersebut karena pada hari ini sudah tertutup harapan bagi mereka untuk dapat mengalahkan Agama Allah, dan pada hari ini pula Allah sudah sempurnakan Agama ini dengan dapat terlaksananya ibadah Haji yang merupakan rukun agama yang terakhir dengan tidak lagi dicampuri oleh praktik-praktik ibadah yang terlarang.

Terlepas dari perbedaan pendapat diatas, bagi umat islam kesempurnaan agama ini adalah suatu yang tidak dapat diperdebatkan lagi. Meski dalam metode dan penerapanya bisa berbeda-beda, umat Islam sepakat bahwa Agama Islam adalah agama paripurna, ajaran-ajarannya telah sempurna dan relevan dalam setiap dimensi ruang dan waktu (sholih li kull zaman wa makaan).

Cuman saja, keyakinan umat Islam akan kesempurnaan Agama yang dipeluknya ini tidak pernah menghadapi ujian dan tantangan sebesar dan seberat yang dihadapi di era modern ini. Banyak permasalahan kehidupan modern yang belum dapat dijawab tuntas oleh umat Islam berdasarkan ajaran-ajaran agamanya yang adi luhung ini. Alih-alih menyelesaikan, sebagian besar solusi yang ditawarkan justru malah memperkeruh permasalahan dan bahkan menjauhkan dari semangat yang diemban oleh Al Qur’an itu sendiri.

Untuk menggali kesempurnaan ajaran-ajaran Islam, Al Qur’an harus dipahami secara utuh, tidak boleh sepotong-potong atau parsial. Al Qurán sebagai sumber utama ajaran-ajaran Islam mengandung seperangkat petunjuk yang sempurna untuk kehidupan umat manusia bahkan sejak saat ayat pertama diturunkan. Petunjuk-petunjuk ini, yang dalam kajian tafsir diistilahkan dengan sprit atau semangat Al Qurán, merupakan jawaban dari kegelisahan dan harapan jiwa kanjeng Rasul melihat kondisi masyarakat Arab dan manusia pada umumnya.

Dalam prosesnya, petunjuk-petunjuk itu kemudian berinteraksi secara bertahap dengan kondisi kejiwaan kanjeng Rasul yang tentunya juga berkembang bersama dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang dihadapinya. Proses ini berlangsung sampai ayat yang paling akhir diturunkan menjelang Nabi Muhammad SAW wafat.

Tugas para ulama dalam hal ini adalah menggali kembali semangat-semangat Al Qur’an itu. Karena harus diakui meskipun Al Quran merupakan petunjuk Tuhan yang melangit, dalam interaksinya dengan sasaran dakwah, Al Qur’an melakukan pembumian. Pembumian ini bukan suatu yang mengurangi keluhuran derajat Al Quran karena bukan kah Allah sendiri menegaskan, “Kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan menggunakan bahasa kaumnya”? (Ibrahim 14:4)

Bahasa dalam ayat ini tidak hanya diartikan sebagai bahasa tutur, baik lisan atau tulisan, akan tetapi juga bahasa dengan keseluruhan muatan sosial dan budaya masyarakat setempat. Bahasa juga mempersyaratkan adanya interaksi antara pihak-pihak pengguna dan perantara bahasa, yang melahirkan proses saling mempengaruhi dan asimilisasi. Ini lah yang dimaksud dengan pembumian di atas.

Dan merupakan kewajiban ulama menemukan kembali unsur-unsur langit yang abadi dan universal dari Al Qur’an, untuk dipisahkan dari unsur-unsur bumi yang temporer dan lokal. Yang pada gilirannya nanti unsur-unsur langit itu kemudian dibumikan lagi dalam kontek dan keadaan di mana ulama itu hidup.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here