Kajian Tafsir Jalalain, Iqtibas 3 Surat Al-Maidah Ayat 4: Anjing dan Kita

0
1116

KHASKEMPEK.COM – Setelah dalam Iqtibas sebelumnya menjelaskan tentang perbedaan pendapat ulama tentang kenajisan anjing. Iqtibas kali ini menyoroti fenomena yang terjadi pada sebagia masyarakat muslim, hususnya di Indonesia, yang bermazhab syafi’i dan menyatakan anjing itu najis. Ada semacam pandangan dan sikap negatif terhadap anjing. Bahkan diantara mereka ada yang bersikap berlebihan dan memperlakukan anjing secara tidak adil.

Baru-baru ini telah viral pengakuan seorang ‘penceramah agama’ di media sosial yang menabrakkan mobil yang ia kendarai pada seekor anjing yang lewat dihadapannya. Ia menceritakkan cerita ini dengan sangat bangga dan memandang tindakannya itu sebagai sebuah kebaikan.

Sikap negatif ini juga sebenarnya banyak terjadi di kampung-kampung santri di banyak daerah di Indonesia. Keberadaan anjing yang berkeliaran biasanya dijadikan tanda bahwa kampung yang bersangkutan bukan kampung santri. Dan jangan tanya apabila ada anjing yang nyasar dari kampung sebelah ke kampung santri, maka nasib anjing itu akan sangat tragis di tengah-tengah kampung santri.

Padahal anjing di dalam ajaran Islam sama seperti binatang lain yang harus diperlakukan dengan baik. Al Quran menyebutkan anjing dalam tiga kesempatan. Ketiga-tiganya tidak ada yang berkonotasi negatif.

Pertama dalam ayat ini yang menjelaskan halal nya hasil buruan anjing atau hewan pemburu lainnya. Anjing dalam ayat ini justru dijadikan standar dan acuan bagi hewan-hewa pemburu lainnya. Ketika menjelaskan syarat hewan pemburu yang sudah terlatih, kalimat yang di gunakan adalah مكلبين yang berasal dari kata كلب yang berarti anjing. Artinya, kamu harus melatih hewan-hewan pemburu itu dan menjadikannya sebagaimana anjing-anjing pemburu yang terlatih.

Kedua, anjing diceritakan dalam kisah Ashab al Kahfi (Penghuni Gua) di dalam Surat Al Kahfi. Anjing dalam kisah ini digambarkan sebagai hewan yang setia menemani tuannya kemana pun tuannya pergi dan turut menjaga ketika tuannya tidur beristirahat.

Dan ketiga adalah sebagai tamsil atau perumpamaan bagi orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dalam Surat al A’raf ayat 176. فمثله كمثل الكلب إن تحمل عليه يلهث وإن تتركه يلهث (maka perumpamaanya seperti anjing, jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya maka ia menjulurkan lidahnya (juga).

Meskipun anjing dijadikan perumpaan bagi orang kafir dalam ayat ini tapi ini sama sekali tidak untuk merendahkan anjing. Ini hanya sebagai perumpaan bagi orang-orang kafir yang akan tetap dalam sikap kekufurannya apapun yang akan Nabi Muhammad SAW lakukan terhadap mereka, sama seperti anjing akan tetap menjulurkan lidah, baik ia dihalau ataupun dibiarkan.

Jadi, berdasarkan ayat-ayat al Quran di atas, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk memberikan perlakuan buruk terhadap anjing.

Memang di dalam beberapa teks hadist ada ungkapan-ungkapan yang terkesan mendiskriditkan anjing. Seperti hadist yang melarang memelihara anjing karena ia akan mengurangi pahala dari orang yang memeliharanya dua qirath setiap harinya. Ada juga hadist yang menjelaskan bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing. Dan terakhir, hadist yg memasukkan anjing buas (الكلب العقور) ke dalam list hewan yang boleh dibunuh, baik di tanah halal maupun haram. Ketiga hadist tersebut adalah hadist sohih dan diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim.

Meski demikian, hadist-hadist semacam itu tidak bisa dijadikan landasan bagi perlakuan buruk terhadap anjing. Pertama, hadist-hadist itu tidak berlaku umum. Karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, memelihara anjing dengan tujuan-tujuan tertentu seperti untuk berburu atau untuk menjaga rumah adalah boleh. Kalau akibat buruk memelihara anjing dalam dua hadist pertama berlaku untuk semua anjing maka tidak ada lagi artinya hukum boleh memelihara anjing-anjing tersebut.

Kedua, justru ancaman yang terdapat dalam dua hadist pertama di atas berlaku hanya apabila anjing yang dipelihara tidak ada kemanfaatannya sama sekali. Memelihara anjing yang tidak memberikan kemanfaatan dalam hal ini sama dengan melakukan hal-hal lain yang tidak ada manfaatnya. Jelas, Islam tidak akan memberikan perkenan untuk itu dan akan mengancamnya dengan ancaman yang sesuai dengan akibat buruk yang akan ditimbulkan.

Ketiga, ancaman tidak akan masuknya malaikat kedalam rumah yang terdapat anjing seperti yang ditunjukkan oleh hadist kedua sebenarnya dalam praktiknya sangat problematik. Siapakah malaikat yang dimaksud dalam hadist ini? Apakah semua malaikat? Kalau ia, berarti malaikat Izra’il pencabut nyawa pun tidak bisa masuk ke rumah orang yang memilihara anjing. Bagaimana kalau sang malaikat mau mencabut nyawa yang bersangkutan? Apakah harus menunggu keluar dari rumahnya dulu?

Atau yang dimaksud dengan malaikat adalah malaikat rahmat seperti dalam redaksi hadist lain? Bukankan si pemilihara anjing bisa hidup dan dapat memelihara anjing berkat rahmat Allah yang diantarkan oleh malaikat-malaikat rahmat selama ini? Bagiamana caranya agar malaikat rahmat dapat menyampaikan kepada yang bersangkutan sedangkan ia tidak dapat masuk ke rumanya?

Dan hadist yang ketiga yang memperbolehkan membunuh anjing itu husus diarahkan pada anjing buas yang dapat membahayakan manusia. Adalah kewajiban setiap orang untuk melindungi diri sendiri dan sesamanya dari segala sesuatu yang dapat membahayakan, termasuk dari serangan anjing buas. Meskipun dengan cara yang palin ekstrim sekalipun yaitu dengan membunuhnya. Hadist ini membuka kemungkinan untuk itu. Tapi sebagaimana semangat Islam secara umum, semuanya harus dilakukan berdasarkan kebaikan dan dengan cara-cara yang baik. Bukankan Islam menetapkan kebaikan kepada segala sesuatu?

Ada kajian menarik tentang posisi anjing dalam Islam yang dapat dijadikan sebagai bacaan pembanding. Kajian itu menempatkan sikap Islam terhadap anjing lebih berdasarkan budaya yang berkembang. Kajian ini menjelaskan bagaimana anjing di jaman Nabi Muhammad SAW memang diakui akan kegunaan dan kemanfaatannya bagi kehidupan manusia, tapi di sisi lain anjing juga dipersepsikan dapat menyebabkan penyakit berbahaya terutama yang ditimbulkan dari gigitan dan air liurnya. Ini lah yang kemudian melahirkan teks-teks agama yang terkesan ambivalent dalam menghukumi anjing.

Masih berdasarkan kajian tersebut, anjing, di awal-awal perkembangan Islam, masih merupakan hewan yang terdekat dengan manusia dan sering dilibatkan dalam kehidupan keseharian masyarakat. Sampai kemudian dengan beberapa kali terjadinya wabah dan pandemi yang banyak memakan korban, anjing dianggap sebagai salah satu pembawa atau penyebar wabah tersebut. Sejak saat itu lah anjing, secara gradual, menjadi seperti musuh bersama. Teks-teks agama yang lebih negatif terhadap anjing akhirnya menjadi pandangan yang dominan di kalangan umat Islam sampai sekarang. والله أعلم

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here