Kajian Tafsir, Iqtibas 2 Surat Al-Maidah Ayat 2: Larangan Mengganggu Pengunjung Baitullah

0
967

KHASKEMPEK.COM – Larangan berikutnya yang ditegaskan dalam ayat kedua surat Al Ma’idah ini adalah larangan mengganggu para pengunjung ke Baitullah yang dimuliakan. ولا أمين البيت الحرام (Dan Janganlah kamu mengganggu orang-orang yang mengunjungi Rumah yang dimuliakan).

Siapakah yang dimaksud dengan para pengunjung Bait al haram ini? Dalam menjawab pertanyaan ini, di kalangan ulama terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa mereka adalah kaum musyrikin yang sengaja datang ke Baitullah untuk melaksanakan haji dan umrah.

Pelaksanan Haji dan umrah merupakan tradisi yang diwariskan secara turun temurun oleh orang-orang Arab sejak lama sebelum kenabian. Tradisi ini kemudian dilestraikan oleh Islam, sekaligus ketetapan-ketetapan yang menjadi penunjangnya. Salah satunya adalah jaminan keamanan bagi mereka yang melaksanakan ritual ini. orang-orang yang melaksanakan haji dan umrah tidak boleh diganggu dan diperangi, meskipun mereka orang-orang musyrik yang masih menyekutukan Allah.

Pendapat ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang menceritakan sebab turunnya ayat ini. Seorang bernama Syuraih bin Dhubai’ah –terkenal dengan nama Al Hutam- datang menemui Kanjeng Rasul. Tujuannya hanya untuk bertanya-tanya tentang Islam, dan ia tidak menampakkan ketertarikannya terhadap agama ini. Ia pun berdalih tidak bisa menjadi pengikut Nabi Muhammad kecuali setelah berkonsultasi terlebih dahulu dengan kaumnya. Kanjeng Rasul menemukan ketidak tulusan dari dirinya dan membiarkannya pergi. Dan ketika Ia meninggalkan Madinah, ia sempat mencuri unta-unta penduduk Madinah yang dibiarkan bebas di pinggir-pinggir kota.

Di tahun berikutnya ada berita bahwa Syuraih pergi menunaikan ibadah Haji. Sebagian sahabat yang merasa dirugikan bermaksud membuat perhitungan dengannya. Tapi kanjeng Rasul melarang keinginan mereka. Beliau beralasan karena Syuraih sedang berhaji sehingga tidak selayaknya untuk diganggu. Ketika sahabat-sahabat memprotes, ayat ini turun menguatkan sikap Kanjeng Rasul, bahwa orang-orang yang mengunjungi Baitullah Haram tidak boleh diganggu, meskipun mereka orang-orang musyrik.

Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud dengan para pengunjung baitullah adalah orang-orang mukmin yang datang ke Baitullah untuk melaksanakan haji dan Umrah. Ayat ini berarti bahwa perselisihan apapun antar kelompok di internal kaum mukmin atau kepentingan-kepentingan apapun tidak boleh mengakibatkan invidu atau kelompok mukmin yang lain terhalang untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah.

Pendapat kedua ini melandaskan argumentasinya pada konteks ayat ini secara langsung, yaitu melihat keterangan sebelum dan sesudahnya. Adapun sebelumnya, ayat ini didahului dengan larangan melanggar tanda-tanda agama Allah secara umum. Kemudian dilanjutkan dengan larangan mengganggu objek-objek yang bersifat khusus. Salah satunya adalah larangan mengganggu pengunjung Baitullah. Tentunya akan selaras bila yang dimaksud di sini adalah pengunjung yang mukmin, karena tanda-tanda agama Allah berkaitan dengan ibadahnya orang mukmin bukan orang musyrik.

Sedangkan keterangan setelahnya, disebutkan bahwa para pengunjung itu datang ke baitullah يبتغون فضلا من ربهم ورضوانا (dalam rangka mencari karunia dan keridhoan dari Tuhan mereka). Dan tentunya kreteria semacam ini paling pas bagi orang-orang Mukmin bukan orang-orang Musyrik. Karena hanya orang-orang mukmin lah yang benar-benar mengharapkan karunia dan keridhoan Allah.

Dari dua pendapat diatas, saya cenderung mengatakan bahwa pendapat pertama lebih kuat karena dua alasan; pertama, Sabab Nuzul Ayat secara tegas menyebutkan bahwa ayat ini berkaitan dengan seorang bernama Syuraih bin Dhubai’ah yang masih musyrik, seperti yang dikemukan dalam hadist diatas.

Kedua, seperti yang dijelaskan oleh Dr. Quraisy Shihab dalam Tafsir al Mishbah bahwa tidak bisa dibayangkan pada saat turunnya ayat ini, ada orang mukmin yang menghalangi orang mukmin lain untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Orang-orang mukmin saat itu masih satu komando di bawah arahan Kanjeng Rasul SAW dan kecil sekali kemungkinannya bila sebagian dari mereka menggangu sebagian yang lain untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh.

Yang paling memungkinkan saat itu adalah orang-orang mukmin mengganggu orang-orang musyrik, atau sebaliknya orang-orang musyrik mengganggu orang-orang mukmin. Kita jangan melihat kondisi di masa-masa sekarang di mana tidak ada lagi orang musyrik yang melaksanakan ibadah haji dan umroh di Tanah Haram. Ayat ini turun saat orang-orang musyrik Arab masih menjalankan ritual haji dan umrah, sebagai sebuah tradisi yang mereka wariskan dari leluhur mereka.

Bila demikian, maka tentunya konteks ayat tidak dapat dijadikan sebagai argumentasi bahwa yang melaksanakan ibadah haji dan umroh adalah orang-orang mukmin. Karena tujuan orang-orang musyrik beribadah juga, ada yang memang sambil berdagang untuk mencari keuntungan materi فضلا dan ada pula yang semata-mata demi mencari keridoan dari Tuhan mereka رضوانا, sesuai dengan keyakinan mereka. Maka di sini lah larangan bagi orang-orang mukmin untuk mengganggu orang-orang musyrik melaksanakan ibada haji dan umrah menemukan relevansinya.

Penulis justru melihat bahwa larangan bagi orang-orang mukmin mengganggu orang-orang musyrik yang sedang berhaji atau berumrah menunjukkan komitmen Al Quran pada dua hal penting. Pertama, Al Quran menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan aturan sosial yang disepakati bersama. Semangat al Quran adalah semangat perdamaian. Al Qur’an senantiasa mengusahakan suatu kondisi di mana setiap kelompok-kelompok di masyarakat bisa hidup berdampingan. Menghormati aturan dan tradisi bersama seperti yang diterapkan terhadap praktik haji orang-orang musyrik ini adalah salah satu bentuk komitmen al Quran dalam menciptakan keharmonisan dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok yang sebetulnya bersebrangan.

Kedua, larangan ini juga menunjukkan sikap toleransi yang tinggi dari Al Qur’an terhadap penganut keyakinan lain untuk mengamalkan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Meskipun ayat ini diturunkan merespon kasus Syuraikh bin Dhubai’ah di atas, larangan ini berlaku umum untuk tidak mengganggu siapapun dari orang-orang musyrik, dan orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita, ketika mereka sedang menjalankan ibadah yang menjadi keyakinan mereka. Terimakasih

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here