Kajian Alfiyah Ibnu Malik Ponpes Khas Kempek Cirebon, Bab Tashrif

0
1869

KHASKEMPEK.COM – Dalam hidup yang terus berkembang, perubahan akan selalu terjadi pada semua aspek seperti alam, lingkungan, budaya, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya.

Begitu juga dengan peradaban sebuah bangsa, mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Indonesia, diawali dengan pra-sejarah, Hindu-Budha, Kerajaan Islam, penjajahan, kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi hingga saat ini.

Begitupun Kiprah Nahdlatul Ulama (NU) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia tak perlu di sangsikan lagi. Dan NU adalah salah satu penopang utama berdirinya Negara Indonesia, serta NU juga selalu berperan penting pada perubahan Indonesia. Akan tetapi Komitmen NU terhadap Indonesia sejak tahun 1926 hingga sekarang tidak pernah berubah, Pancasila dan NKRI adalah final bagi NU.

Membahas tentang perubahan, hal ini juga tertera dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik, yang mana dalam kitab ini selain membahas perihal ilmu nahwu tentunya membahas tentang ilmu shorof. Keduanya merupakan materi yang tidak dapat dipisahkan dan ketika keduanya dipadukan maka akan tumbuh ilmu-ilmu lain karenanya. Seperti maqolah:


الصّرف امّ العلوم و النّحو ابوها

Shorof adalah ibunya ilmu, dan nahwu adalah ayahnya.”

Imam Kisai pernah berpesan kepada muridnya yakni;


من تبحّر فى علم اهتدى به الى سائر العلوم

Barang siapa yang menguasai satu disiplin ilmu, maka ia akan mendapatkan petunjuk untuk mencapai ilmu-ilmu yang lain.”

Lantas yang dimaksud ilmu shorof itu apa?

Shorof adalah salah satu ilmu gramatika bahasa Arab yang khusus membahas tentang perubahan bentuk kata (kalimah). Perubahan ini dalam praktiknya disebut tashrif .

What the meaning of tashrif? Maa huwa tashrif? Apa itu tashrif?

Tashrif secara etimologi ialah التغيير (change/perubahan), seperti yang dikutip dalam Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 164, yakni:


و تصريف الرّياح

Artinya: Perubahan angin dari timur ke barat, dari panas menjadi dingin ataupun sebaliknya.

Sedangkan secara terminologi, tashrif diartikan sebagai:


تحويل الكلمة الى ابنية مختلفة و تغييرها لاغراض

“Perubahan kalimah dalam bentuk yang berbeda-beda dan perubahannya itu dikarenakan adanya tujuan yang dimaksud.”

Dengan catatan tidak semestanya kalimah bisa ditashrif. Serta seperti yang dikutip dalam bait Alfiyah yang berbunyi;

حرف و شبهه من الصرف برى # وما سواهما بتصريف حرى

وليس ادنى من ثلاثي يرى # قابل تصريف سوي ما غيرا

“Huruf dan sesamanya, dalam artian (isim-isim yang mabni seperti كم حيث مِن dan fiil-fiil yang jamid yakni ليس عسى بئس ) itu tidak terkait dalam pembahasan tashrif, selain keduanya dalam artian (isim-isim mutamakkin dan fiil-fiil mutashorrif) bisa untuk ditashrif.”

Dalam artian Isim dan fiil yang terdiri dari satu atau dua huruf tidak dapat menerima tashrif kecuali, lafadz-lafadz yang sebelumnya mengalami perubahan seperti (قل بع), dalam arti standarisasi bentuk kalimah isim dan fiil tidak kurang dari tiga huruf.


Lalu bagaimana dengan lafal قل dan بع yang hanya memiliki 2 huruf?

Begini, sebagian diantaranya ada lafal yang mengalami perpindahan dan pembuangan, seperti قل dan sejenisnya.

Lafal قل merupakan fiil amr yang asalnya اُقْوُلْ harokatnya wawu dipindah kepada huruf sebelumnya karena huruf shohi lebih pantas menyandang harokat dibanding huruf ‘elat menjadi اُقُوْلْ kemudian wawu dibuang karena دفعا للتقاءالساكنين)) mencegah bertemunya dua huruf yang mati, menjadi اُقُلْ lantas hamzah washal dibuang karna (لعدم الاءحتياج) sudah tidak dibutuhkan lagi, menjadi قُلْ begitupun بع dan sesamanya.

Kesimpulannya lafadz yang dapat dikategorikan pentashrifan adalah isim mutamakkin dan fiil yang mutashorrif yang lafadz tsb tidak kurang dari tiga huruf.

Bisa kita pahami secara global suatu kata kerja, bisa berubah menjadi jenis perubahan kata, seperti fiil madhi yang dapat berubah menjadi fiil mudlore’, lalu menjadi mashdar dan seterusnya.

Seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Ar-Rad ayat 11 yaitu:


انّ الله لا يغيّر ما بقوم حتّى يغيّروا ما بانفسهم

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaannya dengan diri mereka sendiri”.

Mahallus syahid lafadz يغيّر , ini merupakan contoh dari fiil yang mutashorrif dan juga merupakan kata kerja yang mengikuti wazan يفعّل , dari fiil madhi berwazan فعّل , yang mana lafadz يغيّر merupakan fiil mudlore’ dari fiil madhi lafadz غيّر . Yang pentashrifannya yakni; ……. يغيّر – غيّر mengikuti wazan …… يفعّل – فعّل.

Pada kutipan Ayat tersebut sering digunakan sebagai ayat motivasi bahwa Allah tidak akan merubah nasib seseorang menjadi lebih baik kecuali dengan usaha dan jerih payahnya sendiri. Sebenarnya, tafsiran seperti ini bertentangan dengan realitas lapangan. Berapa banyak orang yang berusaha mengubah nasib mereka dengan membanting tulang, kaki di kepala dan kepala di kaki, demi ingin mengubah nasibnya menjadi lebih baik, tapi berapa persen dari mereka yang berhasil?


Lantas bagaimana tafsir ulama pada ayat tersebut?


Imam at-Thabari dan imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menerangkan, bahwa ayat tersebut justru menjelaskan,semua orang itu dalam kebaikan dan kenikmatan. Allah tidak akan mengubah kenikmatan-kenikmatan seseorang kecuali mereka mengubah kenikmatan menjadi keburukan sebab perilakunya sendiri, wakadzalik Allah tidak akan mengubah suatu kaum sehingga ada salah satu di antara mereka yang mengubahnya, dalam artian faktor berkurang atau hilangnya kenikmatan yang diterima hamba itu tidak tunggal. Sebagaimana yang terjadi pada perang Uhud, kalah bukan lantaran kesalahan semua pasukan, tapi ada kesalahan beberapa individu yang orang lain mendapatkan imbasnya.

Menjadikan ayat tersebut untuk memotivasi orang agar berbuat yang terbaik dan berjuang maksimal merupakan langkah positif. Hanya saja perlu dicatat, perjuangan dalam konteks ayat tersebut bukan mengubah yang buruk menjadi baik, tetapi merawat agar anugerah yang baik-baik dari Allah tak berubah menjadi buruk karena perilaku kita.

Walhasil, dunia manusia adalah dunia perubahan dan pergantian, tak ada sesuatu yang tetap di dalamnya, segalanya akan senantiasa berubah, memudar, setelah itu mati. Maka dari itu “Be somebody who makes everybody feel like a somebody” JADILAH SESEORANG YANG MEMBUAT ORANG LAIN MENJADI SESEORANG. Dengan rasa cinta, rendah hati dan ketulusan. Bukan degan rasa dengki sombong dan riya. karena بقدرما نحب نحب . Bagaimana kita mencintai seseorang seperti itulah orang lain mencintai kita.

*Kajian ini disampaikan oleh Kelompok 28: Hakim, Haikal dan Michael

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here