Fikih Maqashid Syekh al ‘Izz ibnu Abdussalam

0
510

KHASKEMPEK.COM – Al ‘Izz bin Abdussalam adalah seorang ulama masyhur bermazhab Syafi’i, lahir dari keluarga miskin di kota Damaskus sekitar tahun 577 H. Al Subuki (w 771 H) menuturkan: “Syekh al ‘Izz bin Abbdussalam kala muda menjalani hidup penuh kekurangan dan kemiskinan, tinggal di zawiyah sebelah utara masjid Damaskus. Pada suatu malam yang sangat dingin, beliau bermimpi mendengar suara panggilan, “wahai Ibnu Abdussalam,  apakah engkau menginginkan ilmu atau amal?”, Ibnu Abdussalam menjawab, “aku menginginkan ilmu, karena dengan ilmu akan sampai pada amal”.

Sejak itu, beliau mengambil kitab “al Tanbih “karya Imam Syafi’i, lalu menghapalnya dalam waktu yang sangat singkat, kemudian menghabiskan seluruh hidupnya untuk mencari ilmu dari para ulama setempat, seperti Fakhrudin Ibnu ‘Asakir, Saifudin al Amidi dan ulama lainnya. berkat kecerdasan yang dimiliki, akhirnya menjadi ulama yang sangat alim pada zamannya. Al Subuki menuturkan: “Syekh al ‘Izz bin Abdussalam adalah Syeikhul Islam, salah satu tokoh terkenal, pemimpin para ulama, penegak Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar yang sangat gigih, pakar Fikih Syari’at dengan segala kerumitannya, dan sangat menguasai kajian Fikih Maqashid”.

karya-karya beliau sangat beragam melintasi berbagai disiplin ilmu, diantara karyanya dalam kajian fikih maqashid yaitu; Maqashid al Shalat, Maqashid al Shaum, Qawa’id al Ahkam fi Mashalih al Anam, Fawaid al Balwa wa al Mihan, dan Syajarah al Ma’arif wa al Ahwal.

Maqashid al Shalat

Menurut al ‘Izz Ibnu Abdussalam, tujuan shalat tidak lain adalah ibadah taqarrub mendekatkan diri kepada Allah SWT, yaitu me-refresh perjanjian dengan-Nya. Oleh karena itu shalat fardlu memiliki lima waktu tidak berjauhan dalam sehari semalam, supaya kita selalu mengingat perjanjian tersebut. Seperti firman Allah SWT dalam QS Toha ; 14 : “dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku”.

Lebih menarik lagi analisanya tentang rahasia takbir, beliau menuturkan; ketika maksud tujuan shalat adalah mengingat Allah SWT, maka kita harus mengetahui dengan siapakah kita menghadap?, seyogyanya kita harus memiliki adab dihadapan-Nya baik zahir maupun batin. Oleh karena itu, shalat diawali dengan kalimat “Allahu Akbar” sebagai bukti  mengingatkan pengakuan kita atas keagungan-Nya dan pada setiap pergantian gerakan seperti berdiri, duduk, ruku’ dan sujud. Tujuannya tidak lain, supaya kita selalu tunduk khusu’ dihadapan keagungan-Nya.

Segala gerakan dan ucapan dalam shalat, menurut al Izzh Ibnu Abdussalam hendaknya kita memahami dan meresapi makna serta rahasia-rahasia dalam shalat. Saat membaca ayat-ayat al Qur’an yang berkaitan dengan sifat keagungan Allah SWT seperti dalam surat al Saffat, hendaknya kita men-tadabbur-i keagungan dan kesempurnaan-Nya. Begitu pula ketika membaca ayat-ayat seperti al Qashah, hendaknya kita menjadikannya sebagai ‘Ibr pelajaran bagi kita, dan juga seterusnya seperti ayat tentang hari kiamat atau lainnya.

Maqashid al Shaum

Karya Ibnu Abdussalam ini terdiri dari sepuluh pasal membahas tentang ; kewajiban puasa, keutamaan puasa, adab dalam puasa, larangan saat berpuasa, mencari Lailatul Qadar, Iktikaf dan membeca al Qur’an, menyambung berpuasa enam hari di bulan Syawal, puasa mutlak, puasa sunah, dan hari-hari dilarang berpuasa. Sekilas dari judul judul pasal diatas tidak nampak adanya pembahasan maqashid, namun ketika kita menela’ah lebih jauh akan didapati isyarat-isyarat kajian maqashid.

Dalam pembahas keutamaan puasa, seperti terangkatnya drajat dihadapan Allah SWT bagi orang berpuasa, terampuninya dosa, tertekannya syahwat, memperbanyak sedekah dan ketaatan, dan lain sebagainya. Semua ini, tidak lain adalah maksud tujuan dari  beribadah puasa. Pada pasal kesembilan tentang puasa sunah, Ibnu Abdussalam meyetir hadist Nabi SAW diriwayatkan oleh Abdullah ‘Amr bin al ‘Ash, saat Nabi memberi nasehat kepadanya, jangan berpuasa setiap hari. Lalu Nabi menyebutkan puasa yang paling utama adalah cara berpuasanya Nabi Dawud AS yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.

Menurut Ibnu Abdussalam, ketika Nabi menyebutkan puasa yang paling utama adalah model puasa Nabi Dawud AS, itu ada dua sebab; pertama, Nabi yakin bahwa Ibnu ‘Amr tidak akan mampu menjalankan puasa setiap hari. Kedua, Nabi menyebutkan puasa paling afdhal yaitu puasa Nabi Dawud AS, karena beliau mampu menjalani. Dari hadits riwayat Ibnu ‘Amr tersebut, Ibnu Abdussalam menilai bahwa ibadah puasa sunah yang paling utama adalah sesuai dengan kemampuan dalam menjalankannya.

Jika sesorang dalam satu bulan hanya mampu berpuasa sunah tidak lebih dari tiga hari, itulah ibadah puasa sunah yang paling afdhal. Jika seseorang hanya bisa berpuasa sunah pada hari Senin dan Kamis, maka itulah yang paling utama dalam beribadah puasa. Jika seseorang mampu berpuasa satu tahun (Shaum al Dahr) selain hari- hari yang diharamkan untuk berpuasa, maka itulah ibadah puasa sunah yang paling utama. Namun jika ibadah puasa sunah membuat seseorang menjadi masyaqqah menderita jasmaninya, sehingga meninggalkan ibadah-ibadah wajib baginya, maka ibadah puasanya tidak dianggap sunah lagi bahkan hukumnya menjadi haram.

Wallahu ‘Alam bi al Shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here