Cerpen Santri: Part 3, Ujian Pertama

0
1134

KHASKEMPEK.COM – Aku berdiri menunjuk ke anak yang tadi mengatakan hal itu. Pikiranku sudah tak karuan, beraninya anak kecil bilang seperti itu padahal ia belum kenal denganku.

“Kurang ajar kamu!” pekikku, tak terasa aku sedikit berlari menuju anak itu dan menendang tepat di badannya.

Bruk! Badan anak itu membentur loker. Belum sempat aku melanjutkan, dua orang di sisiku sudah menarik lenganku. Tiba-tiba satu orang yang sedikit besar berdiri menghadapku.

“Mau apa lu, beraninya nendang adik gua!” terianya. Mukanya memerah, tangannya mengepal bersiap memukul wajahku.

Aku berusaha melepaskan tanganku, tapi pegangan tangan kedua orang di sampingku teramat kuat, ku tatap muka mereka yang terlihat tersenyum menang.

Bruk! Aku tak sempat menghindar, sebuah pukulan melayang tepat di pelipisku. Kepalaku terpental. “Ini kesempatan!” batinku, ku dorong badanku ke atas menggunaan kakiku, dan aku berhasil terlepas dari pegangan tangan mereka.

Aku terjatuh di lantai, segera aku berdiri memperbaiki posisi, dan ternyata mereka semua bersiap menyerang ku. Aku terpojok di sisi kamar, telingaku penuh dengan suara geram, tangis dan teriakan dari anak-anak kamar.

Tendangan pertama mengarah ke sisi kiriku, dengan cepat aku gerakkan tangan kananku menangkisnya, “Ah, sakit sekali,” batinku. Belum selesai, dari depan satu orang menendang badanku. Kali ini aku kembali terjatuh, aku tak punya pengalaman bela diri apapun, seluruh orang sudah mengerumuniku, beberapa pukulan dan tendangan menghujani badanku, tanganku hanya berusaha menutupi wajahku yang mulai menangis, aku hanya ingat ibu.

Hingga akhirnya, sebuah suara menyelamatkanku, “Eh, kalian lagi pada ngapain?” teriaknya, perlahan dia membelah kerumunan sambil berteriak “Minggir!”

Perlahan pukulan yang menghujaniku berkurang. Aku rasa ia berdiri di sampingku, namun aku tak berani melihatnya. Aku membalikkan badanku dengan posisi tengkurap untuk menutupi tangisanku.

“Anak baru udah pada pinter bikin gaduh ya kalian,” pekik orang tadi. Perlahan aku mulai mengenai suaranya, dia kang Ikhwan ketua kamarku. Kali ini semua orang diam, hanya tersisa suara tangisan anak kecil yang tadi aku tendang.

“Siapa aja tadi yang mukulin Hasan?” matanya melotot, menyiratkan ketegasan dalam dirinya.

“Si Juling yang mulai duluan kang, dia mukulin adik saya!” jawab orang yang pertama menendangku.

“Saya tanya siapa aja yang mukulin Hasan!” kini nadanya lebih tinggi, tangannya menunjuk ke orang yang tadi menjawabnya.

Perlahan enam orang tersebut mengacungkan diri, suasana hening sejenak, hingga terdengar langkah baru terdengar memasuki kamar.

“Gimana wan?” tanya orang itu,

“Bawa enam orang ini ke kantor keamanan, nanti aku akan menyusul,” Kang Ihwan membalikkan badannya lalu berteriak “Kalian orang enam masuk ke keamanan!”

Perlahan kerumunan di sekitarku menyurut, terasa ada salah satu kaki menendang kakiku, “Dasar cengeng!” katanya. Lagian siapa yang bisa menang berkelahi melawan orang enam?

Kamar mulai sepi, Kang Adi memegang punggungku, “Kamu gak papa, San?” tanyanya.

Aku perlahan membalikkan badanku dan beranjak duduk. Ku usap mataku dengan lengan kiriku, menyisakan bekas tangisanku tadi.

“Hasan gak papa kang,” balasku.

Ia terlihat mengamati tubuhku, memang tidak ada yang terluka ataupun memar, tapi bukan berarti aku tidak merasakan sakit. Aku melihat sekitar, anak yang tadi aku tendang sudah tak ada di kamar.

“Ke poskestren dulu yuk!” ajak Kang Ihwan dengan ramahnya. Aku heran, Kang Ihwan bisa mengubah sikapnya begitu drastis.

“Gak papa kang saya mau mandi aja,” aku melihat jam, sekarang sudah jam setengah enam sore.

“Beneran gak papa?” tanya Kang Ihwan lagi.

Aku membalasnya dengan mengangguk dan sedikit tersenyum.

Aku kembali membuka lemariku, mengambil sabun dan bergegas menuju WC.

Setelah sedikit mengantri, akupun masuk ke WC. Perlahan aku siram tubuhku yang sedikit ngilu dikarenakan serangan tadi. Aku kembali teringat dengan pesan Ibu. Di hari pertama aku gagal menjalankan pesannya, bahkan saat baru ditinggal oleh Ibu. Ingin rasanya aku kembali menangis, tapi aku harus tegar.

Selesai mandi, aku keringkan badanku dengan kain sarung, mengambil air wudhu, kembali ke kamar, memakai pakaian rapih dan bergegas menuju ke masjid.

Aku duduk di bawah tiang serambi masjid, duduk dengan tatapan kosong sambil mendengarkan lantunan Juz-Amma yang mengisi waktu sebelum maghrib. Tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sampingku, menyapaku.

“Hai, namamu siapa?” sapanya sambil menjulurkan tangan.

“Hasan,” jawabku sambil membalas jabat tangannya.

“Hasan saja? Maksudku, gak ada imbuhan lain seperti Muhammad Hasan atau Hasan Cellular gitu?” tanyanya sambil sedikit tertawa.

“Ada-ada aja,” jawabku sambil tersenyum, “iya, namaku hanya Hasan.

Ia melepas jabat tangannya, “Oh kirain,” jawabnya dengan senyum, “Namaku Hasan juga maksudnya, Hasanuddin,” jelasnya.

“Kamu kamar berapa, San?” tanyanya. Belum sempat menjawab, obrolan kami dipotong suara adzan Maghrib.

“Kita lanjut nanti ngobrolnya,” Jawabku.

Aku mengikuti jama’ah shalat Maghrib dengan hikmat. Selesai shalat, aku mendoakan ibuku dan ayahku. Entah mengapa, rasanya sangat haru menjalani malam pertama di pesantren.

Shalat berjamaah pun usai, aku berdiri dan membalikkan badanku menuju asrama. Aku mulai berjalan menuruni tangga masjid dan melompati bancik-bancik. Sampai saat aku sudah dekat dengan asrama, aku melihat enam orang yang tadi mengeroyokku sudah menunggu di sana. Ingin aku memutar arah namun terlambat, salah satu dari mereka sudah melihatku.

“Tunggu,” ujar salam satu dari mereka. Mereka berenam mendekatiku.

“Urusan kita belum selesai dasar Juling!” (Bersambung)

Baca juga:

Pesan Ibu

Kenapa Matamu?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here