Cerpen Santri, Tirakat

0
2990

KHASKEMPEK.COM – Tanpa terasa, Muhammad Arka sudah dua tahun berada di pesantren. Sebuah perjalanan panjang yang mengharukan, mengingat mesantren bukanlah cita-citanya.

Sebenarnya Arka ingin melanjutkan ke sekolah negeri, agar bisa mendaftar menjadi TNI, yang merupakan cita-citanya sejak kecil. Tetapi orang tuanya tidak setuju. Ayahnya sedari awal ingin ia masuk pesantren.

“Kalau bukan kamu yang membesarkan pesantren ini, terus siapa lagi, Nak? Kamu anak satu-satunya bapak,” ujar ayahnya suatu ketika. Ayahnya memang sedang merintis pesantren di desanya.

“Kamu lihat, sekarang santri yang mengaji disini sudah banyak. Bayangkan 10 tahun ke depan, bapak gak mungkin mampu mengajari mereka sendirian, apalagi kalau bapak sudah sepuh” katanya lagi, membuat Arka makin bimbang.

Pada akhirnya, ia harus rela mengubur cita-citanya menjadi tentara. Arka memilih manut pada keinginan ayahnya. Maka, berangkatlah Arka ke pesantren terkenal di ujung barat pulau jawa, tempat dulu ayahnya belajar ilmu agama.

***

Sebagai santri baru, Arka cukup cepat beradaptasi dengan lingkungan pesantren yang serba sederhana.
Ia tidak kesulitan mengikuti materi pengajian. Apa yang selama ini diajarkan ayahnya di rumah, cukup membantu dirinya ketika mengikuti pelajaran kitab kuning khas pesantren, seperti nahwu, sharaf, fiqih, aqidah, akhlaq, tarikh dan tasawuf.

Lambat laun, Arka mulai menikmati kehidupan barunya dipesantren. Banyak teman, kebersamaan dan belajar hidup mandiri menjadi alasannya. Arka seperti telah melupakan cita-citanya. Baginya, belajar di pesantren bukan lagi sekadar memenuhi perintah orang tua. Ia telah menemukan gairah baru di pesantren yang terkenal dengan ilmu nahwu sharafnya itu.

Semangat belajarnya luar biasa. Di kamarnya, ia bisa berjam-jam menderas kitab kuning, saat yang lain tertidur pulas. Hafalan nadzomnya selalu bertambah setiap hari dan begitu lancar ketika disetorankan kepada ustad pembimbingnya. Seakan bait syair yang begitu rumit dan banyak itu telah menyatu dengan bibirnya.

Ia sangat disiplin membagi waktunya. Ia membuat sendiri jadwal kegiatan hariannya yang padat itu. Mulai bangun pagi, salat berjamaah, mengaji, mencuci pakaian, dan seterusnya sampai istirahat. Wajar, jika ia kemudian ditunjuk menjadi rois dikelasnya, menjadi rujukan ketika cocogan pelajaran wajib.

Kebiasaan dan rutinitasnya itu berlanjut sampai ia masuk kelas mutamimah. Sampai suatu ketika, tiba-tiba Arka tertarik mempelajari ilmu hizib, yang ia peroleh dari salah satu santri senior yang ia kenal ketika acara haul pesantren.

Kang Ali, demikian ia biasa disapa, menceritakan kepada Arka, beberapa kitab kuning yang mengajarkan ilmu hizib. Dikisahkan oleh alumni senior tersebut, dulu para wali ketika menyebarkan agama Islam di tanah jawa, penuh dengan rintangan. Tak sedikit gangguan yang mengancam jiwa, bahkan nyawanya. Akan tetapi para wali mampu menghadapi semua rintangan itu, diantaranya dengan ilmu hizib, yang bisa juga disebut ilmu hikmah.

“Untuk mencapai ke sana, ada amalan khusus yang harus ditempuh, yaitu dengan tirakat” jelas Kang Ali.

Arka mendengarkan dengan takjub. Baginya, apa yang diceritakan Kang Ali adalah hal baru yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia menjadi sangat tertarik.

“Ajari saya, Kang. Mumpung masih di pesantren,” katanya dengan bersemangat. Arka berharap Kang Ali mau memberikan kitab-kitab yang barusan diceritakannya tadi.
“Nanti, belum saatnya.”
“Kenapa, Kang?”
“Sekarang fokus saja pada pengajian kamu.”
“Tapi saya serius ingin mempelajarinya, Kang.”
“Nanti saja. Kalau sudah waktunya.”
“Kapan, Kang?”
“Kalau kamu sudah khatam kitab alfiyah ibnu malik”
“Tapi itu masih lama, Kang.”

Arka terus merengek. Ia begitu bersungguh sungguh meminta. Akhirnya Arka diberi kitab karya ulama salaf. Kitab arab gundul itu Arka terima dengan perasaan luar biasa.

“Silahkan dibaca. Tapi ingat! ini hanya sebagai pengetahuan saja. Gak boleh di amalkan,” pesan Kang Ali.

“Iya, Kang. Matur nuwun,” kata Arka senang sambil mencium tangan Kang Ali berulang-ulang.

***

Sejak Arka mendapatkan kitab dari Kang Ali, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Ia begitu menikmati isi kitab klasik tersebut. Awalnya hanya membaca. Lama kelamaan ingin mencoba. Rasa penasarannya membuat Arka lupa akan pesan Kang Ali.

Arka menjadi lebih fokus ke kitab hizibnya dari pada kitab pelajaran pondok. Sudah beberapa minggu ia tidak melalar nadzom alfiyahnya. Ia juga mulai jarang ngumpul bareng teman-temanya di muhadoroh.

Malah beberapa hari ini Arka tidak tidur di pondok. Banyak santri melihat ia sedang tidur pulas di mahbaroh.

Ketua kamar yang mengetahui Arka jarang di kamar, mencoba menanyakan langsung
“Lagi senang ziarah, Kang,” jawab Arka singkat, tanpa menceritakan alasannya.

Kebiasaan Arka yang sering tidur di mahbaroh semakin banyak diketahui santri. Mereka mulai berbisik-bisik. Menduga-duga. Arka jadi tidak nyaman. Ia butuh tempat baru. Tempat sepi tanpa orang lain tahu. Apalagi kitab pemberian Kang Ali hampir selesai dibaca. Ia ingin memulai tahap berikutnya. Tapi dimana?

***

“Maaf Kang. Mau melaporkan, Arka sudah beberapa hari tidak ada di kamar,” kata ketua kamar kepada lurah pondok.
“Di mahbaroh ada gak? Saya dengar dia lagi suka melekan di sana.”
“Gak ada, Kang.”
“Apa pernah izin ke kamu mau kemana?”
“Gak pernah, Kang. Orang tuanya juga gak tahu ada di mana? Ia sekarang ada di kamar, Kang.”
Lurah pondok kaget.

“Coba cek ke teman dekatnya. Barangkali tahu,” perintah lurah pondok.
“Sekalian kamu lapor ke keamanan, segera cari Arka secepatnya,” perintahnya lagi.
“Nggih, Kang.”

Saat itu juga, keamanan pondok langsung disebar. Mereka mencari ke segala penjuru. Masjid, tajug, pasar, alun-alun, warung, dan seluruh area dekat pesantren. Namun hasilnya nihil.

Sementara lurah pondok menginterogasi teman-teman dekatnya. Tapi tidak ada satupun yang tahu kemana Arka pergi.

“Tapi memang ada yang aneh dengan Arka, Kang,” kata salah seorang santri kepada lurah pondok
“Aneh kenapa?” lurah pondok menatap tajam santri di depannya.
“Akhir-akhir ini Arka jarang ikut pengajian, Kang. Kalau berangkat seringnya terlambat. Dirasah dan musyawarah juga tidak pernah hadir.”
“Sejak kapan ia mulai seperti itu?”
“Setelah haul pondok, Kang.”

Lurah pondok diam. Merasa ada yang aneh. Pasti ada yang tidak beres dengan Arka. selama ini Arka dikenal sebagai santri yang rajin, cerdas, dan selalu mentaati peraturan pesantren. Ia bahkan sudah merencanakan, setamat alfiyah nanti, Arka akan ia sowankan ke pengasuh untuk mengajar di pondok putri.

Sementara orang tuanya masih bertahan di pondok. Ia sibuk telpon sana sini, ke saudara dan orang tua temannya Arka. Semuanya tidak ada yang tahu. Orang tuanya beberapa kali menangis. Luruh pondok menenangkannya. Ia yakin Arka ada di suatu tempat dan pasti akan kembali. Ketika ortunya ingin meminta bantuan polisi, dengan halus lurah pondok melarangnya.

“Kasih kesempatan beberapa hari lagi, Pak. Jika dalam tiga hari kami belum menemukan anak Bapak, silahkan hubungi polisi,” kata lurah pondok berdiplomasi.

“Untuk sekarang, biarkan pengurus mencarinya. Insyaallah, anak Bapak akan kami temukan,” ujar lurah pondok menyakinkan.

Tiba-tiba ketua kamar datang lagi, “Kang, ada petunjuk baru, Arka seringkali menanyakan jalan ke Gunung Ciremai.”
Semua yang ada di kantor kaget. Terlebih orang tuanya.
“Mungkin ia mau mengikuti kegiatan mendaki ke gunung, Kang” kata ketua kamar lagi.

Lurah pondok mengangguk, membenarkan dugaan ketua kamar. Tapi akhirnya menyadari ada yang janggal dengan laporan ketua kamar itu. Mana mungkin Arka ikut organisasi gunung. Sebagai lurah pondok, ia sangat mengenal kepribadian salah satu santri yang terkenal sangat rajin berjamaah itu. Arka dikenal kurang gaul. Ia lebih suka di kamar dengan kitab kuningnya. Jika tidak ada kegiatan pesantren, ia lebih suka menyendiri di kamarnya.

“Kamu yakin dia mau ke sana?” tanya lurah pondok menyelidik.
“Iya, Kang, soalnya dia meminta dibuatkan peta ke puncak Gunung Cermai”
Lurah pondok kaget.

“Coba buka lemari kamarnya.”
“Tapi kuncinya di bawa Arka, Kang.”
“Dobrak saja!”
“Tapi, Kang…”
“Saya yang tangguh jawab. Barang kali ada petunjuk.”
“Nggih, Kang.”

Dengan disaksikan orang tua Arka dan penghuni kamar, lemari dari kayu jati itu didobrak. Begitu lemari terbuka, semua mata terbelalak. Kaget dengan apa yang dilihat.

Banyak tulisan arab unik. Bentuknya seperti rajah. Beberapa benda aneh ditemukan di kardus kecil. Ada juga keris, tombak, pedang dan batu akik.

Lurah pondok meminta ketua kamar memeriksa baju dan kitab. Tidak ada apa-apa, kecuali sebuah kitab “aneh” yang tidak pernah diajarkan di pesantren, dengan sebuah foto alumni yang cukup terkenal.

“Sekarang juga kita ke rumahnya Kang Ali. Saya yakin ini petunjuk,” kata Lurah Pondok sambil memegang kitab kuning yang ada tanda tanganya Kang Ali, alumni senior yang cukup ia kenal, karena Kang Ali adalah mantan lurah pondok sebelum dirinya.

***

“Iya betul, ini memang kitab pemberian dari saya,” kata Kang Ali.

Diceritakannya pertemuan beberapa bulan yang lalu ketika dirinya menghadiri acara haul pondok. Kang Ali yakin, jika Arka sedang mencoba mengamalkan ilmu hizib yang terdapat dalam kitab yang ia berikan.

“Ini sudah malam. Besok kita ke gunung ciremai. Saya yakin Arka di sana,” kata Kang Ali, sambil mempersilahkan lurah pondok dan ketua kamar istirahat.

***

Ketika dalam perjalanan mendekati daerah bukit ciremai, rombongan dikagetkan dengan informasi ada orang aneh yang sedang dikerangkeng di balai desa, dengan ciri-ciri seperti Arka.

Segera rombongan bergegas ke balai desa. Benar saja, ternyata dia adalah Arka.
Pakaiannya lusuh, wajahnya kusut, rambutnya kotor. Arka sedang berbicara gak jelas.

Begitu melihat kedatangan Kang Ali, Arka tiba-tiba meraung-raung, berteriak keras seperti ketakutan. Ia meronta-ronta, berusaha melepaskan ikatan tali yang menjerat tangan dan kedua kakinya.

Dengan sigap, lurah pondok dan ketua kamar memegangi tubuh Arka. Lalu Kang Ali meletakan tangannya di ubun-ubun kepala Arka. Mulutnya terlihat komat-kamit membaca sesuatu. Tidak berapa lama, tubuh Arka lemas, lalu ambruk.

Kepada Kuwu, Kang Ali meminta izin membawa pulang Arka. Ia akan dibawa ke pesantren untuk dipertemukan dengan orang tuanya dan pengasuh pondok.

***

“Ia sedang melakukan amalan tirakat, tapi tanpa bimbingan seorang guru,” kata Kiai Misbah, sambil memegang telapak tangan Arka yang masih belum sadarkan diri.

“Ini peringatan buat kita. Hendaknya tidak sembarangan memberikan amalan kepada santri. Bisa fatal akibatnya,” kata Kiai Misbah.

Kang Ali kaget. Ia merasa sangat bersalah. Ia tidak menyangka Arka akan berani mempraktekan isi kitab hizibnya.

“Saya sudah mencabut tirakatnya. Setelah sadar, ia akan kembali normal. Tapi ia butuh pemulihan, jadi harus istirahat cukup lama,” kata Kiai Misbah, sambil berpesan kepada lurah pondok agar selama masa pemulihan, Arka ditempatkan di kamar kantor pusat, supaya mudah diawasi.

Semua yang berada di ruangan itu terdiam, pasrah dengan keputusan dan kebijakan pengasuh.

Tiba-tiba Arka siuman. Ia segera dibangunkan oleh orang tuanya. Setelah meminum air putih pemberian Kiai Misbah, ingatan Arka kembali pulih. Ia langsung duduk bersimpuh, menghadap gurunya.

“Arka,” suara Kiai Misbah pelan, “jangan pernah lagi mengulangi tirakatmu. Belum saatnya,” ujarnya dengan penuh kelembutan.

Arka tertunduk. Tidak berani menatap gurunya. Ia sekarang sadar, kalau apa yang telah dilakukannya merupakan kesalahan. Arka menyesal.

“Tirakatnya santri itu, ya…deras kitab, baca Al-Qur’an, salat jama’ah, menghafalkan nadzom, anteng di pondok, nurut dengan peraturan,” kata Kiai Misbah, menasehati Arka.

“Gak usah aneh-aneh. Itu saja sudah berat,” ibuhnya lagi.

Arka semakin tertunduk. Airmatanya basah.

Penulis: Mansur Jamhuri, Alumni MTM Ponpes KHAS Kempek

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here