Cerpen Santri (Edisi 3), Madrasah Terakhir

0
582

KHASKEMPEK.COM – Pagi itu Kiai Shobirin terlihat gelisah. Tidak bisa duduk tenang di rumahnya yang berada di tengah kota. Betapa tidak, madrasah yang dikelolanya sejak muda akan dibongkar oleh Pemkot. Menurut rencana, bekas madrasah dan area sekelilingnya akan menjadi pusat kegiatan olah raga dan taman terbuka.

Tentu saja warga keberatan. Karena madrasah tersebut, kini jadi satu-satunya tempat pendidikan agama yang masih tersisa. Yang lainnya telah lama tergusur menjadi mal, pertokoan, hotel dan pasar modern. “Wali kota aneh. Katanya agama itu penting dalam pembangunan, tapi kenapa madrasah digusur demi gedung olah raga?” kata salah satu dari ketiga perempuan dalam obrolan sore.

“Kita tidak boleh diam. Kalau sampai dibongkar, terus siapa yang akan mengajarkan anak-anak kita mengaji? Terus apa kita mampu? Saya sih gak bisa!” kata seorang lainya yang merasa ilmu agamanya ‘pas-pasan’. “Saya bisa, Mbak. Tapi waktunya yang gak bisa. Maklum, sibuk ngurus suami dan pekerjaan kantor” kata seorang lainya lagi.

Mereka akhirnya sepakat, bersama wali murid yang lain meminta Kiai Shobirin menentang rancana wali kota.

***

Malam itu, wali murid dan warga berkumpul di rumahnya Kiai Shobirin. Meraka meminta tuan rumah segera menemui wali kota. Minta penutupan madrasah dibatalkan.
“Kita bersama kiai” kata mereka kompak.

Sebenarnya tanpa diminta, Kiai Shobirin sendiri sudah bertekad akan mempertahankan madrasah yang tadinya hanya berupa majlis taklim kecil itu.

Sebagai lulusan pesantren, ia merasa terpanggil ikut mensyiarkan agama di kota kelahirannya. Fokus Kiai Shobirin terutama pada pendidikan agama anak-anak dan remaja. Ia sedih, banyak dari mereka, yang sekadar mengucapkan salam dengan benar saja tidak bisa.

Pernah ia mengadakan wawancara, didapati fakta mengejutkan: sebagian besar mereka belum bisa membaca Al-Qur’an. Bahkan beberapa anak tidak memiliki Al-Qur’an di rumahnya. Kok bisa? Katanya pelajaran Al-Qur’an di sekolah hanya berupa teori, bukan praktik langsung membaca 30 juz.

Kiai Shobirin pernah membaca hasil penelitian dari sebuah perguruan tinggi, yang mengungkapkan fakta, bahwa lebih dari setengah persen masyarakat muslim Indonesia belum bisa membaca Alquran, padahal mereka aktif belajar diberbagai lembaga pendidikan formal.

Maka di madrasahlah kesempatan mereka mempelajari ilmu agama. Sebab di rumahnya banyak kendala. Orang tua mereka sangat sibuk. Berangkat pagi pulang malam. Hidup selalu terburu-buru. Mengejar atau dikejar waktu.

Sementara sekolah menghabiskan sebagian besar dari hari mereka. Berangkat pagi pulang sore. Sisanya untuk istirahat, bermain, atau bekerja membantu orang tua. Mengaji? Itu hanya bagi yang masih peduli pada pentingnya pendidikan agama.

Maka tidak heran jika kelas belajar di madrasahnya dari tahun ke tahun tidak pernah bertambah dari dua kelas: satu kelas putra dan satu kelas putri. Waktu belajarnya pun dilaksanakan sore menjelang petang. Maka orang-orang menyebut madrasahnya dengan sekolah sore.

Bisa jadi, karena alasan ini wali kota berani mau menggusur madrasahnya. Mungkin karena melihat warganya sudah tidak menganggap madrasah sebagai sesuatu yang penting dan layak dipertahankan di kotanya.

Tapi Kiai Shobirin bertekad, apapaun resikonya, madrasah ini harus tetap tegak berdiri. Karena itu benteng terakhir dalam usahanya mempertahankan syair Islam di kotanya. Ia teringat pesan gurunya ketika dipesantren, tentang peringatan Rasulullah di akhir zaman. Beliau Nabi mengatakan, “Akan datang pada manusia suatu zaman, saat orang yang bersabar di antara mereka diatas agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.”

“Jika kau lepaskan bara api dari genggaman tanganmu, maka api akan mati. Tapi jika kau genggam, maka tanganmu yang terbakar” kata gurunya memberi penjelasan.

Dan inilah yang sedang Kiai Shobirin perjuangkan. Ia tidak boleh mundur, meski harus berhadapan dengan penguasa.

“Mohon Maaf, Bapak sedang tidak ada di tempat, Kiai” kata seorang staf kantor di ruang tamu wali kota. Rombongan curiga, mengingat mobil dinas wali kota terlihat jelas dipelataran halaman depan. “Kira-kira sampai jam berapa Bapak di luar?” tanya Kiai Shobirin menyelidik. “Biasanya sampai tengah malam, Kiai” jawab staf tadi.

Kiai Shobirin menarik napas dan mengamati ruang kerja wali kota yang luas itu. “Baiklah, sampaikan kepada Bapak, kami atas nama warga, menolak penutupan madrasah dengan alasan apapun! Besok, kami akan datang kembali.” ujar Kiai Shobirin sambil menitipkan Surat Pernyataan Penolakan warga.

***

Malam itu, di rumah dinasnya, wali kota terlihat murung. Acara televisi favoritnya seperti tidak menarik. Pandangan matanya menerawang entah kemana. Surat pernyataan penolakan warga telah membuatnya gelisah. Ia harus berfikir keras, agar tidak membuat keputusan yang merugikan dirinya.

“Pembangunan GOR dan taman terbuka harus tetap dilaksanakan,” gumamnya dalam hati. Ini merupakan janji utama dirinya saat kampanye. Ia tidak mau terus menerus jadi bulan-bulanan oposisi yang selalu menyerang kebijakannya.

Namun menutup madrasah juga bukanlah persoalan gampang. Selain penolakan dari sebagian warga, dirinya bisa dituduh anti madrasah, anti pendidikan Islam. Suara umat Islam yang mayoritas di kota ini bisa lepas. Jelas ini menjadi acaman serius bagi dirinya yang sedang mengincar jabatan wali kota untuk kedua kalinya.

Tapi menunda pembangunan juga tidak menyelesaikan masalah. Apalagi pemilihan wali kota semakin dekat. Ini bisa jadi senjata bagi lawan-lawan politiknya yang berniat maju menghadapi dirinya.

Belum lagi tekanan dari anggota dewan bila proyek ini gagal dilaksanakan. Bukankah partai pengusungnya yang selama ini paling ngotot mengajukan mega proyek ini? Ia masih ingat bagaimana perjuangan partainya di DPRD Kota. Butuh waktu sampai bertahun-tahun, demi mewujudkan janji kampanye dirinya. Lobi-lobi tingkat tinggi, intrik dan suap telah dilakukan. Uang 50 miliar adalah dana yang paling minim yang bisa didapat dari 200 miliar yang diajukan ke dewan.

***

Siang itu, di kantor wali kota sedang terjadi perdebatan sengit. “Bapak-Bapak tidak usah khawatir, nanti akan dibangunkan madrasah baru di tempat lain sebagai ganti yang sekarang. Kita cari dulu kira-kira dimana tempat yang memungkinkan. Tak masalah walau dibangun dipinggiran kota, yang penting masih terjangkau trasportasi. Jadi sebaiknya kita sepakat saja. Urusan dana pembangunan madrasah baru, semuanya menjadi tanggung jawab saya. Bapak-bapak tahu beres” terang wali kota berusaha menyakinkan.

“Mohon maaf, Pak. Kenapa harus membongkar yang sudah ada kemudian membangun yang baru di tempat lain?” tanya Kiai Shobirin.
“Saya tegaskan, Kiai. Ini hanya soal tata kelola pembangunan. Tidak ada kaitanya dengan mengerdilkan fungsi madrasah, apalagi meminggirkan peran agama” jawab wali kota, mulai paham arah pertanyaan Kiai Shobirin tadi.

“Kalau begitu, kenapa Bapak tidak mempertahankan madrasah yang sudah ada, yang sudah jelas dirasakan manfaatnya oleh warga selama puluhan tahun?” sela Kiai Shobirin sambil menatap mata wali kota dengan tajam, seolah ingin mencari kebenaran dari setiap kata-kata pemimpinnya itu.

“Kenapa bukan GOR dan taman yang dibangun di pinggiran kota? Bukankah kota kita sudah terlalu sempit dan padat? Sehingga tidak ada ruang terbuka?” Kiai Shobirin berbicara lagi. Ada nada kemarahan dalam suaranya.

“Justru karena itu, program saya dari awal adalah bagaimana di tengah kota kita ada ruang terbuka, ruang publik. Nanti warga bisa santai menikmati suasana sore atau sejuknya udara pagi. Anak-anak dan remaja bisa riang gembira bermain, tanpa mengeluarkan uang sepeserpun!” jawab wali kota, menemukan alasan dari pertanyaan Kiai Shobirin.

“Kenapa aksi tawuran, miras, dan narkoba makin marak di kota kita? Karena minimnya sarana olah raga dan hiburan gratis untuk para remaja. Maka saya buat terobosan. Jika berhasil, maka akan menjadikan remaja kita terhindar dari kehidupan yang tidak sehat ini. Minimal mengurangi terjadinya kenakalan remaja. Bukankah itu sangat positif buat kota kita, Kiai? “Tapi apa artinya sehat jasmani kalau tidak sehat ruhani?” bantah Kiai Shobirin.

Adu argumen terus berlanjut. Tidak ada titik temu. Akhirnya wali kota mengalah dengan mengajukan jalan tengah. GOR tetap dibangun dan madrasah tidak dibongkar. Lahan tempat pembangunan akan digeser. Entah kemana, tidak di jelaskan oleh wali kota. Yang penting tidak membongkar madrasah.

“Sekarang saya minta bapak-bapak pulang. Kami akan melobi anggota dewan, untuk merubah master plan GOR, seperti keinginan Bapak-Bapak” ujar wali kota sambil berdiri, tanda mengahiri pertemuan. “Tapi kami ingin dapat jaminan dari Bapak.” tegas Kiai Shobirin. “Jaminanya jabatan saya!” jawab wali kota tidak kalah tegas.

***

Kiai Shobirin membaca surat dari wali kota dengan mata berkaca-kaca. Hari itu juga, ia mengumpulkan seluruh wali murid dan pengurus madrasah.

Dengan suara berat Kiai Shobirin menjelaskan, bahwa madrasah dalam dua minggu lagi akan dirobohkan. Surat perintah penutupan dari wali kota dibacakanya pelan-pelan, agar semua yang hadir memahaminya. Dijelaskan dalam surat itu, selama belum dibangukan gedung madrasah baru, anak-anak belajar sementara di musala terdekat. Dalam satu bulan ke depan, wali kota segera mencarikan tempat dan pembangunan madrasah baru, semuanya ditanggung wali kota.

Kesedihan dan kekecewaan nampak pada wajah-wajah mereka. Mereka pasrah. Karena keputusan wali kota telah disetujui DPRD Kota. Madrasah yang akan dibangun berdampingan dengan area GOR seperti yang dijanjikan wali kota, ternyata tidak disetujui anggota dewan. Surat wali kota membuat warga terbelah. Terjadi pro kontra. Yang setuju beralasan bahwa belajar di musala hanya sementara.

“Ini jelas meringankan kita, dari pada mempertahankan madrasah yang sekarang yang sudah tua dan sudah saatnya direnovasi,” kata salah seorang wali murid. “Saya gak setuju. Apakah yang hadir disini bisa menjamin janji wali kota akan ditepati?” tanya wali murid lainya kepada yang hadir.

Akhirnya, dengan berat hati, pertemuan hari itu menyetujui penutupan madrasah. Disepakati pula bahwa sebelum madrasah baru dibangun oleh wali kota, kegiatan belajar di tempatkan di musala terdekat seperti perintah wali kota, dengan cara disekat dan kelas dibagi menjadi beberapa kali pertemuan.

Maka, pada hari yang telah ditentukan, madrasah dibongkar. Pembangunan GOR dan taman dimulai, dan anak-anak belajar di musala secara bergantian.

***

Sudah hampir empat bulan sejak pembongkaran madrasah kegiatan belajar di musala dilaksanakan. Namun belum ada kepastian kapan madrasah baru akan dibangun. Katanya wali kota kesulitan mencari lahan yang pas. Setiap Kiai Shobirin ada kesempatan bertanya, selalu dijawab nanti dan sabar. Komunikasi dengan wali kota kemudian menjadi sulit. Para pembantunya saling lempar dan susah dihubungi.

Sementara anak-anak yang belajar di madrasah semakian hari semakin berkurang. Mungkin karena tidak nyaman belajar berhimpitan di musala kecil dan pengap itu. Apalagi sejak GOR dan taman diresmikan serta digratiskan, anak-anak jadi lebih tertarik datang ke GOR dari pada ke mushola. Mereka lebih suka bermaen futsal, tenis, bulu tangkis dan voli atau nongkrong bareng bersama yang lain.

Pengurus madrasah dan wali murid semakin putus asa, ketika hasil pemilihan wali kota menempatkan tokoh oposisi sebagai pemenang. Sementara wali kota yang sekarang sudah pulang kampung ke tanah kelahirannya.

“Bara api ini padam digenggaman tangan penguasa!” gumam Kiai Shobirin sedih, sambil menatap gedung olah raga yang megah, bekas bangunan madrasahnya yang kini tinggal sejarah.

Penulis: Mansur Jamhuri, Bekerja di MTs KHAS dan STIKES KHAS Kempek

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here