Cerpen Santri (Edisi 1), Pesantrenku Sepi

0
660

KHASKEMPEK.COM – Ratusan mobil dari berbagai daerah masuk dengan tertib ke lapangan utama Pesantren Kempek. Hari itu, Azzam bersama pengurus dan santri senior lainya sibuk mengatur berbagai jenis kendaraan. Semua bekerja sesuai posnya. Pengarahan oleh lurah pondok benar-benar dilaksanakan. Keputusan pengasuh yang memutuskan memulangkan santri lebih awal karena mewabahnya Covid-19 dapat dimengerti.

Hal itu juga sejalan dengan anjuran pemerintah. Walau berat, ini adalah keputusan paling bijak, mengingat pesantren yang dipimpinya memiliki ribuan santri, yang berasal dari berbagai daerah, termasuk luar Jawa. Sementara vaskin belum juga ditemukan, bahkan dinegara maju sekalipun.

“Ini adalah ikhtiyar kita dalam menghadapi musibah yang belum pernah kita hadapi sebelumnya. Keselamatan santri menjadi prioritas utama” kata Pengasuh Kyai Musthofa Aqil dalam rapat khusus, yang dihadiri seluruh masyayikh, dzuriyah dan pengurus inti. Diputuskan bahwa hataman Alfiyah, Al-Quran dan Juz‘ama ditunda. Sementara kegiatan ziarah wali sanga langsung dibatalkan. Hanya pra muada’ah dan ikhtibar tsani yang tetap dilaksanakan, itupun dipercepat dan acaranya disederhanakan.

Maka, pada waktu yang telah ditentukan selama tiga hari, dengan dilepas kyai dan ibu nyai, ribuan santri meninggalkan pondok pesantren, menuju daerahnya masing-masing. Mereka dikoordinir oleh organisasi santri daerah dan wali santri.

Azzam sangat sibuk sekali. Mengontrol setiap pos dan memberikan intruksi-intruksi. Sebagai koordinator, ia ingin memastikan pemulangan santri sesuai protokol kesehatan Covid-19. Bersama pengurus, keamanan dan poskestren, Timsus Covid-19 Pesantren sukses menjalankan tugas pemulangan santri dengan aman dan nyaman.

Virus corona memang tidak mengenal apa dan siapa. Semua terkena dampaknya, termasuk Pesantren Kempek. Agenda tetap dan rutin yang telah disiapkan jauh-jauh hari, semuanya berantakan. Apa yang sebelumnya dianggap biasa dan dikira hanya terjadi di China, ternyata kian hari kian nyata. Wabah yang belum ditemukan obatnya ini, telah datang ke negara kita. Semua panik, tidak ada yang siap. Corona menjadi bencana yang memporak porandakan segala agenda.

“Ujian Nasional Berbasis Komputer ditiadakan” kata Kyai Ni’amillah Aqil kepada guru-guru dalam rapat mendadak di sekolah. Dibacakannya Surat Edaran dari Kementerian Pendidikan Nasional.
“Mulai sekarang, semua kegiatan siswa akan dilaksanakan secara online. Siswa dipulangkan ke rumah. Karena pemerintah melarang kegiatan tatap muka di kelas” Kata Kang Ni’am, demikian beliau biasa disapa, sambil menjelaskan bahwa nanti akan ada rapat khusus terkait teknis KBM Online.

“Saya minta, semuanya harus siap, ini kondisi darurat. Wali kelas mohon menginformasikan hal ini kepada wali murid” kata Kyai Ni’amillah, mengakhiri rapat.


Sepeninggal santri, pondok menjadi sepi. Asrama, kamar santri, masjid, mushola, aula, warung, koperasi, dapur umum, tempat cucian dan jemuran, semuanya nampak kosong. Gedung-gedung megah di kawasan sekolah, kantor-kantor, parkiran kendaraan guru dan lapangan utama yang biasanya selalu penuh dengan lalu-lalang santri, kini sepi. Suasana hening terasa nyata. Hanya di kantor pengurus dan gerbang utama pesantren tampak beberapa santri. Mereka adalah santri kelas alfiyah dan pegajian al-qur’an yang sebagain besar menjadi pengurus pesantren.

Azzam, nampak sedang membaca informasi digrup WhatsAap pengurus. Sebagai salah satu santri senior, ia diberi izin memiliki handphone untuk mempermudah komunikasi dan koordinasi. Dengan sigap, santri yang berasal dari Sumatra ini selalu memberikan informasi penting di beberapa grup whatsaap wali santri. Memberikan instruksi dan arahan kepada pengurus junior. Memastikan kebijakan berjalan sesuai intruksi

Tugasnya kian bertambah. Seperti hari itu, ia ditugaskan memberikan pengarahan kepada satpam dan pengurus pondok. Pengasuh ingin disetiap pintu masuk ada tempat cuci tangan dan sabun antiseptik. Wali santri dan tamu dilarang masuk. Bestel atau besuk santri dari luar gerbang.

“Kepada tamu dan wali santri kalian harus tegas, tapi sopan” kata Azzam menjelaskan rincian tugas penjaga gerbang. Sejak itu, gerbang dan seluruh area masuk pesantren dijaga ketat. Namun, setelah doa hataman Al-Qur’an dan Alfiyah Ibnu Malik yang dilaksanakan pada malam Nisfu Sya’ban, hanya tinggal beberapa pengurus tersisa. Kebanyakan mereka pulang. Tangggung jawab Azzam semakin berat. Untung ada Satpam yang selalu siaga setiap saat.

Azzam masih bertahan hingga bulan Ramadhan datang. Sholat taraweh malam pertama hanya diikuti dua shaf kurang. Masjid Al-Jadid yang megah dan luas nampak lenggang. “Azzam, data santri yang masih dipondok ya?” Kata Kang Nahdi, lurah pondok. Malam itu juga, ia mendatangi tiap komplek. Dari wilayah Al-Qodim, Al-Jadid dan Al-Gadir, total ada 78 santri. “Mereka termasuk khodam, Kang” kata Azzam memberi laporan. Kang Nahdi diam. Matanya terus menatap kertas laporan. Membaca data santri.
“Banyak kamar yang kosong ya?”
“Iya, Kang”
“Kasih tahu sama yang masih disini, ngaji ‘pasaran’ ramadhan tetap dilaksanakan” kata Kang Nahdi sambil menyerahkan jadwal kitab pasaran.
“Sampaikan ke tim media yang masih ada, agar pengajian pasaran disiarkan secara online. Supaya santri yang di rumah tetap bisa menganji”
“Nggih, Kang”

Sejak itu, untuk pertama kalinya, kemeriahan bulan Ramadhan tidak lagi ia jumpai. Tidak ada suasana hilir-mudik santri yang mengikuti ‘pengajian pasaran’ atau keramaian ‘engkeg sore’. Asrama dan kamar yang biasanya selalu riuh sampai subuh, kini sepi. Tidak ada antrian panjang dikolah atau WC santri. Masjid sepi, lagi-lagi karena sedikitnya santri.

Di kamar 39, Komplek Sihabulukman bagian atas, Azzam duduk seorang diri. Hatinya semakin mantap untuk pulang setelah khatam mengaji kitab ‘pasaran’, sambil berharap kondisi aman di akhir bulan Ramadhan. Tapi harapan di bulan suci virus pergi kian jauh dari kenyataan. Berita di handphone miliknya menunjukkan perkembangan Covid-19 justru semakin bertambah meluas dan menyebar kemana-mana.


Dengan membaca sholawat tibbil qulub, Azzam menaiki sepeda othel milik keamanan. Berkeliling, memastikan pesantren aman. Ia lalu berhenti di sudut paling tengara di halaman depan rumah dinas salah satu guru senior asal Tegal.
Wajahnya menatap sawah yang gelap. Ingatannya kembali menerawang saat Kyai Musthofa Aqil memimpin ribuan santrinya mengelilingi seluruh area pesantren dengan membaca ‘likhomsatun’, seminggu sebelum santri dipulangkan.

Kini, rumah dinas itu sepi. Hanya suara angin sawah yang terdengar berhembus pelan, menyapa dengan lirih dedaunan yang rindang. Membuat tubuh kurus Azzam menggigil.
“Ya Rabbi..lindungilah pesantren dan negeriku ini dari pandemi” doanya dalam hati.


“Besok Masjid Kempek tidak melaksanakan sholat Jum’at. Santri sholat Dzuhur di Pesantren” Demikian pesan whatsaap dari Kang Nahdi di grup pengurus pesantren.
Penyebaran virus rupanya sudah pada taraf yang sangat menghawatirkan. Azzam mulai resah, kurang dari seminggu lebaran. Pakaian untuk pulang sudah ia masukan ke tas. Kitab kuning sudah ditata rapih. Rencananya nanti malam mau ‘sowan’ ke pengasuh dan pulang setelah sholat Jumat.

Khotimin Alfiyah Ibnu Malik tahun 2006 ini, telah merencanakan kepulangannya dengan matang. Ia tak sabar buka puasa bersama dengan keluarga di rumah. Ada kerinduan teramat sangat. Terutama kepada ayahnya yang sudah sangat sepuh. Wajah ibunya yang teduh, seperti hadir di depan mata. Sambil menunggu waktu berbuka, ia membuka handphone dan mencari berita didunia maya. Berharap kondisi makin baik dan aman untuk pulang.

Satu persatu dibaca berita terkini. Mulai dari perkembangan nasional. Didapatkannya berita: Pemerintah telah menetapkan PSBB di beberapa kota, kabupaten dan provinsi. Bahkan mudik kini dilarang. Daerah perbatasan, jalan tol, pelabuhan, bandara, jalan provinsi, jalan protokol, jalan-jalan strategis dan terminal diawasi ketat polisi. Ada cek poin. Yang melanggar dipaksa balik arah, yang melawan di denda atau dihukum. Azzam lemas membacanya.

Ia segera mencari berita di daerahnya. Berharap mendapatkan informasi yang berbeda. Azzam kaget. Satu orang warga desanya dinyatakan positif Covid-19. Kampung halamanya langsung di lockdown.

Azzam langsung menelpon kakaknya di rumah, ingin memastikan keluarganya baik-baik saja. Tapi ia kaget luar biasa. Kakaknya mengabarkan kalau ayah sudah seminggu sakit.

“Kenapa tidak ada yang ngasih tahu Azzam?” kata Azzam sedikit marah.
“Sengaja, biar kamu tenang di pesantren. Azzam juga gak bakalan bisa pulang kan?” Kata kakak perempuan satu-satunya itu diseberang.

“Doakan saja Zam. Insya Allah ayah baik-baik saja”. Azzam hanya diam. Tanpa terasa, matanya basah. Sedih, tidak bisa menemani ayahnya saat sakit. Dalam hatinya, santri yang sudah hampir dua puluh tahun mengabdikan dirinya berkhidmah untuk pesantren ini, meminta kepada yang maha kuasa, agar ayahnya segera diberi kesembuhan dan panjang umur.


Sore itu, Azzam berkumpul di depan kantor pondok, menanti waktu buka bersama. Ada hidangan istimewa dari ibu nyai di puasa hari terakhir. Bersama sekitar dua puluh lima santri, yang tidak bisa pulang saat idul fitri karena pandemi, Azzam bersiap merayakan malam takbiran di pesantren, yang tinggal beberapa saat lagi.

Entah mengapa, disore itu, wajah ayahnya tiba-tiba seperti hadir. Seakan memanggil-manggil dirinya agar cepat pulang. Santri senior yang baru saja mendapatkan beasiswa dari Universitas al-Azhar Cairo itu, menjadi gelisah, perasaanya tidak tenang. Dipejamkan matanya yang mulai sembab. Dibayangkanya ribuan santri ada bersamanya. Azzam berusaha menghadirkan keramaian dalam hatinya. Seolah ingin, agar semua orang menguatkan dirinya dari perasaan ambyar yang sedang merasuki jiwanya. Namun sia-sia. Perasaanya tetap gelisah.

Dengan perasaan tidak menentu, ia ayunkan langkah, berjalan menyusuri pesantren. Berharap menemukan suasana baru, menyegarkan hatinya yang beku. Tapi ia melihat kesepian ada dimana-mana. Di teras masjid, di asrama, di halaman pesantren, di jalan masuk, di kantin, dan disemua yang nampak. Di hadapannya, kemegahan dan keagungan pesantren kini laksana istana tak bertuan. Sepi, tak berpenghuni.

Suara adzan Maghrib menyadarkan Azzam. Segera ia kembali ke kantor. Tapi langkahnya terhenti. Suara Handphonenya berdering. Panggilan telepon dari kakak perempuanya di rumah.
“Azzam, kamu yang sabar ya… . Ayah sudah tiada..”
Azzam kaget. Badanya lemas, tak mampu menerima berita kematian ayahnya. Tangisnya pecah bersama berkumandangnya suara takbir malam hari raya dari masjid al-jadid.
Allâhu akbar Allâhu akbar Allâhu akbar lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar, Allâhu akbar wa lillâhi-l-hamd.

Penulis: Mansur Jamhuri, Pengurus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here