Cerita Santri, Pasar Berjalan dalam Perjalanan Pulang

0
1338

KHASKEMPEK.COM – Cirebon, tahun 2000-an: Jarak tempuh Cirebon – Tegal kurang lebih dua jam. Banyak pilihan: bus kelas eksekutif dengan fasilitas AC, TV dan pelayanaan yang nyaman, atau bus kelas ekonomi dengan harus rela berdesakan, bahkan berdiri sebab kelebihan muatan, yang memang dipaksakan oleh kondektur karena mengejar setoran.

Jika memilih bus ekonomi, kita harus bersabar dengan rutinitas tetap yang menyertai sebelum keberangkatannya. Pertama, begitu kita duduk, akan masuk pengamen secara bergelombang. Dari yang asal-asalan dengan suara pas-pasan, sampai seperti grup band mau konser, karena terdiri dari beberapa personel dengan alat musik tidak lagi sekedar gitar kecil seperti kebanyakan pengamen jalanan. Mereka mengawali aksinya dengan salam dan sambutan.

Setelah itu masuk para pedagang asongan. Juga secara bergelombang. Meraka sangat agresif menawarkan jualannya dengan sedikit memaksa: menawarkan berulang-ulang kepada penumpang, meski sudah ditolak berulang-ulang.

Yang ditawarkan juga bermacam-macam, mulai dari koran, obat-obatan, buku doa, TTS, komik, aneka makanan dan minuman. Tapi umumnya makanan khas terminal yang cukup terkenal yaitu tahu tegal.

Yang paling akhir biasanya muncul bapak-bapak dari panitia pembangunan yang meminta sumbangan. Katanya untuk masjid atau majlis ta’lim. Setelah menyampaikan salam dan ceramah kilat, mereka langsung mendatangi penumpang. Satu persatu. Biasanya dengan memperlihatkan ‘Surat Penugasan’ dari panitia pembangunan.

Yang menarik justru respon penumpang yang bermacam-macam. Entah karena uangnya pas-pasan atau tidak punya perasaan, ada saja yang tidak mau merogoh koceknya, meskipun seratus-duaratus perak.

Penumpang model begini biasanya memililh aksi unik. Ada yang pura-pura tertidur, atau pasang aksi seperti sedang menerima telpon lalu mengangkat tangan ketika pengamen, pedagang atau peminta sumbangan mengulurkan tangan. Ada yang sengaja mendengarkan musik yang menempel ditelinganya dengan mata terpejam dan pura-pura tidak tahu saat mereka mendatangi dirinya.

Penulis sendiri selalu menyiapkan uang recehan, dengan jumlah yang telah dikira-kirakan sebelumnya berdasarkan pengalaman.

Kondisi bus yang serba semrawut ini ditambah lagi dengan ketidakpedulian kondektur. Orang nomor dua setelah supir ini begitu berkuasa. Ia masih teriak-teriak mencari penumpang lain, padahal kursi sudah terisi semua, termasuk kursi plastik yang sengaja disiapkan sebagai tempat duduk tambahan.

Maka, penumpang hasil ‘teriakan’ harus menerima nasib naik bus tanpa kursi. Kalau beruntung, ia akan mendapatkan tempat duduk jika ada penumpang turun ditengah jalan. Jika tidak, ia harus rela berdiri sepanjang perjalanan.

Pada penumpang model seperti ini biasanya akan terjadi perang harga dengan kondektur. Uniknya tawar-menawar ongkos dilakukan ketika bus berjalan. Bila negosiasi gagal, penumpang langsung diturunkan dipinggir jalan. Maka bisa dibayangkan, jarak tempuh yang seharusnya dua jam, bisa molor menjadi tiga jam bahkan lebih.

Efeknya, supir menjadi ugal-ugalan: tanjap gas tinggi, salip depan atau rem mendadak. Penumpang dibuat was-was sepanjang jalan.

Tapi itulah wajah trasportasi kita, yang penulis alami ditahun 2000-an selama beberapa tahun ketika masih bolak-balik dari kota udang ke kampung halaman di Tegal.

Penulis yakin sebagian besar masyarakat kita lebih memilih bus ekonomi, bukan karena mau merakyat, tapi memang itulah kemampuan kita. Bagi penulis yang waktu itu masih mesantren, bus ekonomi adalah pilihan yang paling realistis, paling pas dengan isi dompet santri yang ‘senin kamis’.

Karenanya, ketika kita memilih bus ekonomi, sebenarnya sedari awal kita sudah tahu akan segala keterbatasan dan kekurangan yang akan kita jumpai di dalamnya. Tentang pengamen, pedagang dan peminta sumbangan yang selalu melekat dan menjadi bagian tetap sebelum keberangkatannya.

Tapi kalau difikir lebih dalam lagi, sebenarnya para pengamen, pedagang terminal, termasuk peminta sumbangan, tidak ingin mengusik ketenangan penumpang. Mereka tahu, kita letih seharian kerja. Mereka paham kita sedang di tunggu keluarga di rumah atau di kampung halaman. Merak juga mengerti kita sedang buru-buru. Tapi sama dengan kita, karena masalah ekonomi, mereka semua terpaksa.

Jadi, kalau kata orang bijak, jangan pernah menyalahkan bus yang kita tumpangi. Karena bus hanyalah benda mati. Sama dengan kantor tempat kita bekerja, rumah atau hotel. Kita bisa menjadikanya tempat bekerja keras, sekadar melepas lelah, tempat ngobrol santai bersama orang-orang tercinta, bahkan menjadi tempat bermunajat kepada Ilahi sehingga dinding-dinding ruangan kita bergetar oleh alunan ayat-ayat suci yang kita bacakan. Semua tergantung bagaimana niat dan keadaan kita.

Yang jelas, karena perbedaan kondisi inilah yang menyebabkan bus yang seharusnya mengantarkan kita dengan nyaman menjadi berisik, persis seperti pasar. Ramai dengan pedagang dan pembelinya, lengkap dengan musiknya. Berdesakan dan tawar-menawar harga. Jadilah bus seperti pasar berjalan.

Mansur Jamhuri: Alumni MTM Ponpes KHAS Kempek-Cirebon

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here