Cerpen Santri: Amanah Wali Santri

0
676

KHASKEMPEK.COM – Namanya X. Ia tokoh terpandang di daerahnya. Yayasan yang dikelolanya fokus diibidang pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.

Ia cukup dikenal berbagai kalangan, dari masyarakat biasa sampai pejabat kelas top. Tidak heran bila lembaga yang dikelolanya itu semakin maju. Bisa dilihat dengan semakin banyaknya siswa dan mahasiswa yang setiap tahun terus bertambah. Kini jumlahnya sudah mencapai ribuan.

Hanya, ada satu yang unik dan tidak diketahui oleh banyak orang. X justru menyekolahkan anaknya dipesantren. Bukan dilembaga pendidikan yang diasuhnya atau di sekolah unggulan ternama.

Padahal kemampuan finansialnya cukup mampu menyekolahkan seluruh anaknya di luar negeri, seperti kebiasaan kalangan elit negeri ini.

Karenanya, keputusan X menyekolahkan anaknya dipesantren cukup mengusik penulis, yang kebetulan sedang menjadi panitia penerimaan santri baru.

“Sekolah dimanapun tempatnya, sama saja. Karena menggunakan kurikulum yang sama. Baik dikemenag maupun kemendikbud,” kata X menjelaskan alasannya.

Ketika ditanya kenapa tidak di sekolah favorit atau unggulan? X menjawab dengan lugas.

“Yang saya cari bukan favorit atau unggulannya. Tapi pendidikan karakter yang berbasis moral dengan dasar ilmu agama yang kuat,” ujar pria yang juga seorang pengusaha perikanan ini, seraya menjelaskan jika sekolah favorit atau unggulan belum tentu bisa mencetak generasi muda yang baik secara moral.

Kepada penulis ia bercerita, kalau dirinya sangat menghawatirkan anak-anaknya yang hidup ditengah kota besar, yang dikatakannya rentan terhadap pengaruh gaya hidup pop anak metropolitan.

“Saya prihatin, banyak remaja kita mulai tidak peduli pada kewajiban agama yang paling pokok, seperti salat lima waktu atau puasa wajib bulan ramadhan. Padahal mereka dididik agama disekolahnya.”

Ia mengkritik peran lembaga pendidikan formal yang dianggapnya terlalu fokus pada teori, serta asyik dengan pendidikan di kelas, tapi kurang berperan dalam menciptakan “kesalehan sosial” dimasyarakat.

Ada gap antara ruang kelas di sekolah dengan rumah dilingkungan siswa berada. Seakan nilai-nilai baik yang diajarkan di bangku sekolah terputus dan tidak memiliki pengaruh diruang privat. Ia mencontohkan, seorang siswa yang selalu rangking di kelasnya, tapi secara jujur sering meniggalkan salat, dan ia menganggapnya biasa.

Ia juga mengkritisi sistem pendidikan yang bagus dalam konsep tapi lemah dalam output. Ia mencontohkan, banyak siswa tidak bisa membaca Al-quran. Padahal Al-Qur’an adalah pelajaran wajib yang diajarkan di sekolah pada tiap tingkatan.

Ia meminta penulis mengecek kebenaran informasi ini dari hasil survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian. “Mungkin sistem pengajaran Al-Quran di sekolah perlu meniru pondok pesantren.” Sebuah ide yang bisa dipertimbangkan dengan serius oleh kementerian agama dan kementerian pendidikan dan kebudayaan.

Meski demikian X menyadari, walaupun sedang mengelola lembaga pendidikan, tapi nyatanya tidak mudah merubah sistem yang ada, karena terikat sekian reguilasi dan seperangkat undang-undang yang serba sentralistik.

Namun, ekspektasinya pada pendidikan berkualitas yang menghasilkan manusia paripurna tetap tinggi, terlihat dari cara ia menyampaikan gagasan-gagasannya. Wajar bila ia marah setiap mendengar berita tawuran antar pelajar atau adanya siswa yang menyerang gurunya. Menurutnya itu aib dan bukti nyata bahwa ada yang tidak beres dalam pendidikan karakter siswa kita.

Ketika penulis mengatakan bahwa itu hanya terjadi pada sebagian kecil sekolah tertentu, yang mungkin belum bisa dikelola secara maksimal dan profesional, X cuma menjawab ringan.

“Pada dasarnya semuanya dikembalikan kepada orang tua. Mau model seperti apa anaknya dididik, banyak pilihannya. Dan saya memilih pesantren ini,” ujar X mantap.

Lalu X menjelaskan harapannya sebagai seorang ayah, agar kelak anak lelaki satu-satunya itu bisa meneruskan mengurus lembaga pendidikan yang ia rintis sejak muda.

“Untuk orang yang akan berkiprah di dunia pendidikan, mengabdikan hidupnya untuk keilmuan, maka hal mendasar yang dibutuhkan adalah kemampuan menguasai ilmu agama yang kuat.” X menjelaskan, untuk kemampuan ilmu umum atau keahlian khusus, cukup dengan memanfaatkan guru atau tenaga pendidik yang profesional dibidangnya.

“Kalau saya butuh guru bahasa Inggris, matematika, IPA atau ahli komputer, maka cukup dengan merekrut mahasiswa dari lulusan perguruan tinggi yang jumlahnya sangat banyak.” Cara berpikirnya sangat praktis, menunjukan kedalaman pengalamannya yang luas dalam bidang yang sedang dijalaninya.

“Tapi untuk mencari guru agama yang mampu memahami dengan baik dan benar teks-teks ilmu agama dari para ulama salaf yang ada dikitab klasik atau biasa disebut kitab kuning, itu sangat sulit dan sangat tidak mudah. Tidak semua santri menjadi orang ‘alim atau kiai, bukan?”

“Iya, benar,” penulis mengiyakan.

“Ini menunjukkan bahwa ilmu agama dengan kurikulum khas pesantren yang berbasis pada penguasaan kitab kuning bukanlah ilmu sembarangan yang dengan mudah bisa didapatkan dengan asal-asalan. Ilmu ini yang saya tahu, harus ditekuni dengan syarat dan piranti yang kuat, seperti niat yang benar, bahwa mencari ilmu di pesantren buku untuk tujuan duniawi seperti mencari pekerjaan, jabatan atau pangkat. Juga harus bersih hati, pikiran dan jiwanya. Ada proses yang panjang yang harus ditempuh secara terus-menerus, melewati berbagai usaha, baik dzohir maupun batin.”

Karenanya, masih menurut X, wajar dipesantren ditetapkan aturan yang berbeda dengan dunia luar seperti dilarang membawa HP, tinggal di kosan atau rumah orang, dilarang pacaran, dan sebagainya.

Belum lagi berbagai kewajiban yang menjadi rutinitas wajib, seperti salat jamaah, musyawarah, dirasah, marhabanan, tahil, ziarah, nadzoman. Dan yang terpenting adalah santri itu dibimbing langsung oleh kiai, siang-malam 24 jam. Sehingga tercipta ikatan batin yang kuat antara murid dengan gurunya. Bahkan ketika telah menjadi alumni, hubungan batin itu justru semakin kuat dan menjadi “spirit” yang turun-temurun kepada keluarganya.

Yang tak kalah penting adalah bahwa dipesantren itu ada barokah, sesuatu yang sangat sulit dijelaskan tapi sangat nyata dirasakan. Para santri biasanya memiliki caranya masing-masing untuk tabarruk atau “ngalap berkah”.

“Ini yang belum saya temukan dilembaga pendidikan formal.” Panjang lebar X menyampaikan pandangannya tentang keunggulan dan keutamaan sistem pendidikan pesantren.

“Meskipun saya juga tidak menutup mata, bahwa masih banyak yang harus dibenahi di pesantren. Seperti kamar santri yang kurang representatif dengan jumlah santri. Kolah dan WC yang masih harus ditambah jumlahnya. Fasilitas kesehatan yang baru sekadar alakadarnya. Atau kepengurusan asrama yang harus terus diperkuat agar semakin efektif. Juga manajemen administrasi pondok yang belum dikelola dengan modern, seperti pemanfaatan IT, misalnya.” X memberikan kritikan yang penulis benarkan dalam hati. Atas ketepatan kritiknya itu penulis bertanya, apakah X pernah melakukan penelitian?

“Oh tidak. Kebetulan anak-anak dari saudara saya banyak yang mondok di pesantren ini. Saya sering ikut mengantar atau menjenguk mereka. Jadi pesantren bukan sesuatu yang asing buat saya.” X berterus terang.

Kepala penulis X menitipkan anaknya. Ia berpesan tidak ada perlakuan istimewa.

“Biarkan anak saya merasakan hidup ala pesantren. Biarkan ia mencuci pakaiannya sendiri. Mandi dan ke kolah harus ikut ngantri. Tidur tanpa kasur dan bantal seperti santri lain. Itu semua bagus untuk masa depannya. Supaya nanti jadi anak yang kuat, tahan banting, mandiri dan punya jiwa sosial serta kepekaan tinggi. Itu akan sangat berguna ketika pulang ke rumah dan terjun dimasyarakat. Apapun bidang yang nanti digelutinya.”

Setelah X pamit, penulis merenung. Betapa kepercayaan terhadap pesantren masih begitu tinggi. X adalah orang yang sukses secara materi, karir dan berlimpah prestasi. Tapi ia tetap percaya pada pesantren salaf yang sederhana. Hormat pada sistem nilai yang diajarkan didalamnya. Bahkan bangga dengan keterbatasan pesantren, yang justru dianggapnya baik untuk masa depan anaknya.

Sebagai salah seorang yang sedang diberi kepercayaan kiai membatu kepengurusan pesantren, penulis merasa bahwa segala hal baik yang baru didengar tadi, penulis anggap bukan sebagai pujian atau sanjungan, melainkan beban yang berat. Karena disitu ada kepercayaan sekaligus harapan dari wali santri terhadap masa depan anaknya yang dititipkan kepada pesantren.

Maka, tak ada pilihan, kecuali menjalankan amanah wali santri dengan sebaik-baiknya. Selalu bergerak maju dengan inovasi dan kreasi ditengah dunia yang semakin berubah dan menglobal ini, agar pesantren tidak tertinggal oleh kemajuan zaman. Tetapi tetap berpijak pada kaidah “al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al- ashlah” (memelihara yang lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik), agar pesantren tetap eksis tanpa kehilangan jati dirinya yang khas dan unik, yaitu sederhana, mandiri, berbasis pada literatur universal kitab-kitab klasik dan ketertundukan total pada kiai sebagai pilar utama pondok pesantren.

Semoga penulis bisa terus istiqomah dalam berkhidmah kepada pesantren, khususnya kepada para masyayikh dalam menjalankan amanah wali santri.

Penulis: Mansur Jamhuri, Pengurus Ponpes KHAS Kempek – Cirebon

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here