Buya Ja’far, Kempek, dan Pendidikan Antikorupsi

1
848
buya Ja'far

Oleh Sobih Adnan

Ketika penulis masih mengabdi di NU Online, sowan ke kiai memiliki dua fungsi; memungut berkah, memburu berita.

Yang paling rutin, tentu kepada guru sendiri; Allah yarham Abuya KH Ja’far Aqil Siroj. Dan sekali waktu, pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat itu ‘menjebak’ penulis dengan sebuah pertanyaan, “Kamu mau sowan, atau wawancara?”

Kaget bukan kepalang. Posisi masih di pintu ‘ndalem. Sementara Buya Ja’far, sudah berbalik menuju kursi tamu.

“Dua-duanya, Buya,” jawab penulis, sembari cengar-cengir.

Namun lega rasanya, ketika sang guru dan narasumber tunggal itu memersilakan duduk, seraya menyuguhkan senyum.

Profesionalitas

Berstatus sebagai santri, bukan jaminan mendapatkan kemudahan berjumpa Buya Ja’far. Di kala gesang, Buya Ja’far berikhtiar keras membagi porsi waktu sebagai pengasuh pesantren, juga terhadap tanggungjawabnya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon.

Tapi, bukan Buya Ja’far namanya, jika sedang memiliki waktu luang kemudian lebih memilih untuk berleha-leha ketimbang menyambut siapa yang datang.

“Jawabanmu, bagus. Ya sowan, ya wawancara,” kata Buya Ja’far.

Penulis tak punya pilihan selain diam. Di samping bagian dari unggah-ungguh tatakrama, sejatinya amat penasaran, pesan apa yang akan dilontarkan untuk mengomentari jawaban nyeleneh santrinya yang baru setahun-dua meninggalkan pesantren itu.

“Pertanyaanku juga bagus,” lanjutnya. Lalu, Buya Ja’far menjelaskan, jawaban “dua-duanya” memberi semacam simbol bahwa penulis sama sekali tidak menanggalkan status kesantriannya, sekalipun ia tengah menjalankan tugasnya sebagai wartawan.

Pilihan “sowan atau wawancara” dalam pertanyaan itu pun diakui Buya Ja’far sebagai bagian dari pesan keprofesionalitasan. Tidak selamanya dua perkara atau lebih boleh dicampur aduk. Tak melulu pula, pepatah “sekali dayung dua pulau terlampaui” itu benar.

“Kamu harus tahu, di posisi mana kamu sedang berdiri,” kata Buya Ja’far.

Kesadaran terhadap posisi akan memulihkan rasa tanggung jawab. Apa dan kepada siapa akan dipersembahkan atas hasil yang diperoleh dalam kadar waktu tertentu, menjadi amat penting.

“Islam hanya mengenal amanat tengah-tengah. Tidak setengah-setengah,” terang Buya Ja’far.

Menghargai tanggung jawab menjadi benteng diri di tengah segala bujuk rayu dunia. Lantas, Buya Ja’far mencontohkan maraknya perilaku koruptif di Indonesia.

“Selain tak punya iman, korupsi disebabkan nihilnya rasa tanggung jawab,” kata Buya Ja’far.

Kepercayaan

Pesan-pesan Buya Ja’far, sebagian besar masih penulis hafal. Pun kesan-kesan yang ditangkap kala masih mengaji dan mengabdi di pesantren yang terletak di ujung barat Kota Wali itu.

Meskipun sudah barang tentu, misalnya, tradisi sorogan diadopsi juga di banyak pesantren Indonesia, tapi di Kempek seolah menanamkan arti tersendiri.

Ada dua kurikulum yang memakai teknik klasik ini, yakni pengajian Alquran dan hafalan nazam Alfiyah ibn Malik. Ketika memasuki tingkat akhir, santri dituntut menyempurnakan dua kewajiban pelajaran tersebut langsung di bawah bimbingan Buya Ja’far.

Untuk Alquran, biasanya dua sampai tiga orang bergiliran menghadap dan melafalkan ayat suci itu di hadapan beliau. Uniknya, Buya Ja’far yang cuma seorang diri itu mampu menelaah mana yang benar, mana yang salah, di saat santri di hadapannya membaca berbarengan.

Buya Ja’far tak pernah menandai batasan sampai mana si A atau si B berhasil menuntaskan setoran. Anehnya, tak ada yang berani melompati kewajiban surat yang ia baca di keesokan hari. Padahal, siapa menjamin Buya Ja’far tahu, jika si anu melewati barang satu atau dua surat demi lekas tuntas dan turut khataman.

Begitu juga dalam kewajiban menghafal sebanyak 1002 nazam Alfiyah. Meski ada teknik yang sedikit berbeda.

Ketika masuk masa setoran, Buya Ja’far meminta santrinya yang sekelas terdiri dari 35 orang itu saling berhadapan dan bergantian membunyikan hafalan. Ya, paling-paling, jika kehadiran santri sekelas penuh, akan ada yang kena sial satu orang. Ambil misal, sudah terbagi menjadi 17 kelompok, risikonya, satu orang langsung berhadapan dengan Buya Ja’far.

Di pengujung masa pengajian kelas Alfiyah, penulis termasuk santri yang lalai terhadap hafalan. Ketika lebih dari separuh kawan sekelasnya sudah tuntas menyetorkan nazam kepada Buya Ja’far, ia tertinggal di barisan akhir bersama lima sampai enam orang.

Setoran pertama, gagal. Kedua, ditolak. Ketiga, gugup. Sepekan diberi toleransi waktu untuk melancarkan hafalan nyaris tak berpengaruh. Buya Ja’far, kabarnya tak lagi memberikan peluang.

Modal nekat, di malam khataman, penulis sowan ke hadapan Buya Ja’far. Baik dan lembut benar hati sang guru. Dipersilakannya masuk, dan membolehkan santrinya bersusah payah menuntaskan hafalan.

“Selamat, ya, akhirnya khatam juga. Jangan sekali-kali menyepelekan kepercayaan,” pesan Buya Ja’far.

Pengajaran Alquran dan Alfiyah, rupanya dijadikan media bagi Buya Ja’far untuk menanamkan kejujuran. Sebuah sikap mahal yang jarang dijumpai penulis, di kemudian hari.

Rendah hati

Mengapa “Buya”? Bukan Kiai, atau Ustaz Ja’far.

Tak ada salahnya juga pertanyaan itu terlontar. Sebab, hampir tak ada satu pun santri Pesantren Kempek yang menyapa kakak kandung Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj itu dengan sapaan Kiai Ja’far.

Lagi pula, di Jawa cuma ada “kiai”. Sebab, sebutan “buya” idealnya untuk sosok berdarah keturunan Minangkabau atau sekitaran Sumatra Barat. Buya Ja’far, tentu tak seperti Buya Hamka yang memang lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam.

Buya Ja’far yang asli Cirebon, tidak ada juga yang menyapa “ajengan” seperti dalam tradisi Sunda. Apalagi, “teuku” yang dikhususkan bagi tokoh-tokoh Aceh, “syekh” di Tapanuli, “tuan guru” di Nusa Tenggara Barat (NTB), atau “nun” atau “bendara” di Tanah Madura.

Namun, ihwal persapaan Buya Ja’far ini, penulis pernah mendapat keterangan dari kakak yang sudah lebih dulu merampungkan pendidikan di Pesantren Kempek, Saeful Adnan.

Menurutnya, tiada lain, sebutan “buya” adalah bentuk kerendah-hatian Buya Ja’far. Beliau, tak ingin disebut kiai, guru, apalagi ustaz.

Sebagaimana lazim diceritakan dalam asal-usul kata, abuya, berasal dari kata abun (bapak), dan ya mutakallim.

Makna sederhananya, bapakku. Menurut Saeful, dengan penuh kerendah-hatian dan kasih sayang, Buya Ja’far lebih ingin menganggap santri-santrinya sebagai anak, bukan yang lain-lain.

Mengingat keterangan itu, lagi-lagi terkenang sebabak pesan dari sosok yang penuh ketegasan itu. Buya Ja’far pernah bilang, “Optimisme, penting. Tapi, kerendah-hatian tak kalah perlu demi memelihara kejujuran.”

Namun kini, Buya Ja’far sudah lama berpulang. Santri-santrinya pun melulu dilanda rindu. Maka, tak ayal, sebagian besar santri Kempek hari ini menyapa Kiai Said dengan sebutan buya.

Pas benar, apalagi, ketika Buya Said memasang dada demi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Nahdlatul Ulama (NU) sudah ada kesepakatan dengan KPK untuk jihad melawan korupsi,” katanya, dalam sepenggal wawancara yang marak diberitakan, pertengahan Juli lalu.

Kempek, selalu melahirkan buya. Sosok penuh inspirasi demi santri antikorupsi.
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni PP KHAS Kempek (Ikhwan KHAS). Bekerja sebagai content editor di Metro TV.

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here